Postingan Populer

Kamis, 24 Desember 2015

Akan

Gegap gempita dalam dada
Bergema megah bersuara
Esok atau lusa
Diucap meski tanpa kata

Bekasi, 24 Desember 2015

Kamis, 12 November 2015

Ayah

Oleh: #CintaTulangIkan feat. Danti Yaniar dan Sukma Chintya Cahyarani

Kuncupku mekar seiring kerutmu
Merekah aku seiring engkau melayu
Tegap melangkah, melaju
Dalam balutan kasih padu
Terlungkup aku mengecup rindu

Duhai raja dalam megah istanaku
Cinta mana yang kasihnya mampu mengalahkanmu?
Datang! Temui aku!
Kuhanya bisa berlari, tak tega untuk menjawab
Relakan!

Bantu aku!
Ikut terisak aku akan teriakan kelamnya
Balut aku! Selimuti aku!
Kasihmu, buaianmu, tempat bersejarah hidupku berkenala

Bila nanti aku kembali pulang
Izinkan aku untuk dapat kembali ke pangkuan
Mengelus punggungmu perlahan
Bayangkan permainan kuda-kudaan dengan punggungmu
Dengan tawamu, dengan kecupmu

Ayah…
Izinkan diri mengutarakan rindu
Melalui tetesan perih mata di balik bahumu
Maaf, lidah selalu terkelu saat ingin berucap rindu
Sungguh, itu semua sebab malu


Ciputat, 18 Mei 2015

Minggu, 26 Juli 2015

Kelana

Kamu tahu rasanya menyimpan rindu berwaktu-waktu? Tapi temu tak berhasil meredamnya, justru membengkakkannya. Iya, harusnya temu jadi media bicara. Tapi angin mengabarkan sesuatu yang sulit diindera. Sesak. Tapi aku yakin, aku sudah di posisi yang benar; mencintaimu dengan segenap rindu yang kutimbun sekian waktu. Perihal pengkhianatan dan lain sebagainya, itu urusanmu. Bukan urusanku.
~
Sore ini, tepat bulan ke-17, hari ke-519, jam ke-12.456, menit ke-747.360, dan detik ke-44.841.600 seharusnya kita bertemu, membayar semua tagihan rindu, dan mencuci semua noda prasangka. Tapi kau dituntut jam kerja, waktu istirahat, dan forum temu kangen dengan teman-teman lamamu. Kalau kutanya tentang kapan kita bertemu? Kau selalu mengelak, mengandalkan kesibukanmu sebagai alasan terkuat.
Ini sudah dua bulan lamanya setelah tatap mata kita yang sebelumnya. Tanpa pertemuan lagi dan tanpa dering ponsel di pagi hari. Sesekali pesanmu masuk sekadar menuding pernyataan bahwa aku merindukanmu, lalu kau jadikan bahan tertawaan sebelum akhirnya kau mengakui juga merindukanku –entah tulus atau tidak. Tapi aku tetap menantikan saat itu. Entah bagaimana rasanya, tapi saat-saat itu selalu kumanfaatkan untuk tetap bisa berkomunikasi denganmu; sesulit itu. Terakhir kali kumeminta waktu, kau hanya sempat bilang, “Aku lagi sibuk kerja, mungkin enggak ada waktu buat ketemu kamu. Maaf ya.” Aku bisa apa? Iya, namanya juga wanita. Aku habiskan waktuku menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca, memotret, berbelanja, mencicipi makanan ini itu dengan teman-teman dekat, sekadar menghadiri ajang reuni –ajang curhat dengan teman lama, atau chatting dengan teman-teman dekat yang terbatas ruang dan waktu hingga larut malam. Mengenaskan! Selalu, sebelum tidur atau setelah bangun tidur, berkali-kali memeriksa pemberitahuan dalam ponselku, kalau-kalau tertera namamu aku bisa langsung membalasnya dan mendapatimu dengan waktu luang untuk sekadar berbalas pesan singkat denganku.
Tapi berwaktu-waktu lamanya, firasatmu tidak juga berhasil memprovokasikan hasratmu untuk melepas tuntas segala rindu, membebaskannya tanpa batas, meluruhkannya hingga habis sudah bara rindu setelah sekian waktu kutimbun hingga tertumpuk debu. Kau tak juga meminta waktu.
~
“Lan, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?”
“Iya, Win. Aku enggak akan marah. Coba cerita,” dengan seulas senyum.
“Rabu lalu, Kris, Lan. Kris…”
“Kenapa Krisna, Win?” kugoncangkan pundak Windi.
“Krisna ingin Sitha jadi pacarnya,” suara Windi memelan, diiringi nada bersalah yang dalam.
“Mungkin itu yang terbaik untuknya, Win.”
“Pasrah betul! Dia sudah menjanjikanmu apa saja, Lan?”
“Krisna bilang, dia ingin bersamaku untuk menjalani masa depannya, Win.”
“Ah, pria! Krisna sudah berapa lama tidak menghubungimu?” Windi penasaran.
“Dua bulan.”
...
26 Juli 2015

Minggu, 05 Juli 2015

Pergi

Ada yang sedang tidak ingin saya tulis. Saya sudah hatam semua kosakata yang membahasakannya, tapi tidak ada yang mampu mewakili percikan rasa yang muncul untuknya. Sudah lama betul rasanya sejak sepeninggalnya, saya tidak lagi melukisnya lewat kata-kata. Akibatnya kalau saya berani melukisnya lagi, dia akan muncul dalam bayang-bayang mengelilingi bola kepala saya berputar-putar dan nanti akhirnya saya hanya akan dibuatnya pusing lantaran terus memikirkannya. Dia sudah tenang di sana, menari dengan para bidadari khayangan memandangi senyuman bidadari itu sambil memegang kedua tangannya menggandengnya berjalan-jalan berdua di taman surga. Sayangnya, dia pergi membawa separuh hati saya. Di tahannya hati saya dalam penjara yang dia buat sendiri yang saya tidak mampu menembusnya hanya untuk mengambil separuh hati saya yang tertinggal di sana.

Hari itu, saya menangis sejadi-jadinya membayangkan tidak ada lagi dia sebagai sandaran saya, penuntun saya, pemandangan mata saya, satu-satunya suara yang saya dengar, dan ladang hatinya di mana saya bisa bebas berlarian ke sana-sini tanpa pernah merasa lelah. Dia membeku di balik helai kain yang menutupi leher hingga kakinya secara sempurna, sedikit kain tembus pandang yang menutupi puncak kepalanya sampai dada. Dia pergi menyisakan kenangan yang nyatanya sampai lima tahun kepergiannya belum bisa saya lupakan sedetik pun. Saya masih ingat satu hari sebelum dia pergi, dia masih menggenggam tangan saya dan melarang saya pergi dari sisinya saat tubuhnya sudah mulai lemas. Satu minggu sebelum dia pergi, dia masih meminta saya membuatkan semangkuk bubur untuk sarapannya saat tenggorokannya sudah alergi terhadap makanan yang teksturnya kasar. Satu bulan sebelum dia pergi, dia masih suka mengajak saya berjalan-jalan, mengitari gedung yang aromanya seperti kamar bedah. Satu tahun sebelum dia pergi, dia masih mengajak saya makan di rumah makan kesukaannya dan membawakan saya setangkai mawar merah. Satu windu sebelum dia pergi, dia mencoret-coret seragam putih abu-abu saya dengan belasan tanda tangannya yang ukurannya bervariasi. Satu dasawarsa sebelum dia pergi, dia menggambar sketsa rumah yang cukup asri dan dia bilang, "Nanti kalau kita menikah, aku akan mendesain rumah kita agar seasri ini, supaya kamu bisa berkebun di sekelilingnya sambil melihat anak-anak kita berlarian dengan riangnya, dan aku akan mengabadikan semua kejadian itu dalam lensa kamera." Dengan yakin saya aamiin-kan angan-angannya agar kelak menjadi nyata.

Lantaran hari di mana saya akan menjadi nyonya atas namanya sudah ditentukan, dia mulai kehilangan kesehatannya. Rasanya saya ingin mempercepat apa yang bisa saya lakukan di waktunya yang sempit untuk mewujudkan semua angan-angannya. Tapi nihil, semua terencana bahkan di saat dia belum berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh orang sehat. Saya menyayangkan dua hal, khayalannya yang belum dapat saya bantu wujudkan dan perasaan saya padanya yang tulus dan belum berkurang sejak saya kenal dia bahkan sampai saat dia pergi malah mengalami pertambahan.
...

Subuh, 6 Juli 2015

Jumat, 15 Mei 2015

Penerimamu

Ada hadiah yang kudapat hari ini. Sesuatu yang kuperjuangkan diam-diam, juga sedang memperjuangkan hal lain pun secara diam-diam. Aku telah kembali –pikirku. Aku sudah memulai segalanya (lagi), yang secara tidak langsung aku sedang bermain api lagi. Api yang kumainkan membakar diriku sendiri. Aku menunda segala yang datang padaku, menghalau mereka agar jarak mereka padaku masih bisa kuawasi kalau-kalau mereka terlalu lihai mengambil langkah mendekati. Tapi semua sia-sia. Sama seperti pikirmu yang menganggap apa yang kau lakukan sia-sia.
Ada rasa penasaran setiap hasrat menuntun jemari membuka pesan masuk. Tertera namamu. Selanjutnya, ada rasa tenang kau masih berkenan membalas segala pesan yang diam-diam kukirimkan –tapi kau juga diam-diam mengirimkan pesan kepada penerima lain. Kau menyembunyikan identitas penerima itu dariku agar aku tidak berusaha mencari tahu siapa dia. Tidak. Aku pun tidak berminat mencari tahunya. Rasa sesalku sudah cukup menyesakkan sebab mencari tahu penerima pesan diam-diammu sebelum penerima yang semakin intensif menerima pesan diam-diammu dewasa ini.
Ada rasa sesak yang tertancap sukar kucabut. Hati habis memaki, manusia macam apa yang menyatakan hatinya untukku tapi raganya milik orang lain? Tidak adakah manusia yang hati dan raganya menyatakan milikku? Memilihku?
Aku bercermin akanmu, waktu yang tepat yang kutunggu. Kau menantang ketegasan atas pilihanku. Kulakukan! Aku selesaikan urusanku dulu dengannya, baru akan kumulai lagi denganmu. Tapi naas… aku terlambat.
Nama penerima diam-diammu kini terpampang jelas di depan mata. Menunjukkan ada strategi yang kau lakukan diam-diam selagi kau memperjuangkanku –katamu. Kau menganggap memperjuangkanku sia-sia, tapi aku menganggap menunggumu kembali memintaku juga sia-sia. Pergerakanku mundur darinya untukmu, juga jadi sia-sia. Penolakanku pada yang mendekat pun, juga jadi sia-sia. Kesendirianku, segala usaha membangun dinding dipinggiran hatimu agar senantiasa aku yang mengisinya, juga jadi sia-sia.
Apa lagi yang bisa kukatakan selain “selamat tinggal”? Serta segala cita agar kau senantiasa bahagia?

15 Mei 2015

Selasa, 05 Mei 2015

KISAH PENGECUT

Oleh: ASA

Sediakah secangkir kopi hangat untuk kutenggak sore ini? Aku sedang ingin di dekap alam, diselimuti hangat malam. Bermesra dengan gelap, bercinta hingga kalap. Dekap aku. Angkat aku kembali. Siapa yang sangka, sehati-hatinya aku melangkah, lubang yang sama masih menganga?
Aku serasa manusia terhina, tak sanggup untuk melangkah sendiri; meninggalkan sisa jejakmu. Bahkan di sana bayangmu pun tak lagi terlihat sejak jauh-jauh hari.
Kurang hati-hati bagaimana? Aku sampai berkali-kali makan hati, tapi aku sepertinya malah jadi bahan tertawaan setulus hati. Bukan maksudku untuk terus mengukir kisah yang tak lagi kau tahu bagaimana alurnya, padahal senyatanya kau pemerannya. Namun hati, mata, juga jemariku tak dapat kuhentikan dengan paksa, karena mereka ingin tahu bagaimana akhirnya.
Pada nyatanya, aku tidak kau baca. Kau sulit kuterka. Pada nyatanya, aku tidak lagi di pelupuk mata. Kau sulit teraba; hilang.
Kisahku kini bukan lagi bagianmu, bukan lagi sekuel yang selalu kau nanti untuk kubacakan di ujung malam. Namun kisahku masih kurajut; untukmu. Penaku masih menyulam kisahnya. Tapi sepertinya kau sudah tidak tertarik menjadi pemeran utamanya. Kala kutanya peran apa yang kau inginkan, kau malah meninggalkan.
Pernah sekali aku melukismu menjadi bagian tak terbayangkan, tak ditunggu, tak ada bahkan. Namun kisahku tak hidup. Mati sama sekali. Tapi kini aku mulai meniti. Sedikit demi sedikit namamu mulai kusiasati. Saat aku sudah mantap berdiri. Siapa sangka bahwa akhirnya kau melarikan diri?
Pengecut!
Ah! Sesekali ingin kuserapahi peranmu yang tak dapat kumengerti. Bahkan ingin kulucuti adamu dalam hinggap tak berarti. Pengecut mana yang berani menyambangi hunian yang telah ia lempari? Bawa ke sini! Bukan lagi pengecut kalau ia berani serahkan diri. Tapi sampai detik kuratapi kisah ini, ia tak pernah menganggap adaku sedikit pun berarti.
Awalnya, dikata tak ingin aku pergi, karena aku adalah harap yang selamanya menjadi doa si pengecut pada Tuhan. Namun harapnya datang tak pada waktunya, “Aku belum siap menerima kabulan doaku”. Si pengecut melenggang. Hahaha. Harus seperti apa lagi kutertawakan segala usaha, cinta, dan apapun yang kukorbankan untuk mempertahankan segalanya? Tapi pengecut tak kehabisan akal begitu saja. Ia sudah menyiapkan taktik, strategi, trik –apapun kau menyebutnya, untuk menghapus jejaknya. Langkahku tak sekuat kelicikannya. Untuk berbalik saja tempurung lututku kaku seperti kurang pelumas. Jahatnya; aku dibuatnya jatuh hati lalu ditinggalkannya sampai hati. Tak pernah kutunggu si pengecut untuk mengucap maaf, karena yang kutahu tawanya terbahak bangga karena berhasil menipu wanita.
Miris rasanya. Tapi mengaispun percuma. Tokoh sentral paling egois berhasil tercipta dalam kisah kita. Tapi siapa sangka kalau di sanalah letak puncak alurnya? Geram hati terasa, pikiranku dirayapi bayangnya hingga keram-keram. Pernah kucoba tuk robek waktu yang telah lalu, namun kisah telah tercipta. Kisah si pengecut.


3 Mei 2015

Selasa, 17 Maret 2015

Seksama Kudengarkan

Sensasi ruas-ruas jarimu masih begitu pekat dalam genggaman, tapi wujudnya tak lagi ada. Tatkala kita berpayung titik-titik air langit, puncak tubuhmu mulai basah waktu demi waktu. Kau berlari, dari tempatmu berdiri sampai persis masuk ke dalam hati. Peluhmu bercucuran kian deras pertanda usahamu juga begitu keras. Aku merajuk, membuat lututmu menyentuh tanah dan menghadirkan mimik wajahmu yang sarat dengan kata memohon. Kau datang terlalu lama. Ribuan detik kuhabiskan di balik kaca rias, memperbaiki diri agar jadi yang paling kau puja. Tapi kupastikan, di tengah jalan sebelum kau sampai, kau berpaling.
Kau mendaratkan pengungkapan rasa yang singkat di atas keningku, tapi sempat kau tahan. Aku menutup mataku, mencoba merasakan sensasi ketulusan yang katanya kau beri seutuhnya padahal jelas kau bagi-bagi sesuai kadarnya. Entah bagianku lebih banyak, atau justru tak mendapat bagian. Lenganmu mendekat, menarikku kepada dekap yang katanya paling nyaman. Aku mengerjap sesaat, menepuk sedikit keras pipiku, mencubit lenganku, sekadar memastikan aku tidak dalam alam yang lain ­–mimpi­. Sampai akhirnya kau lepaskan, ada sesak yang kurasakan.
Titik-titik air langit menderas, kita merapat. Berlari kecil, berteduh di bawah sepetak atap yang masih tak mampu menahan pelukan alam yang hangatnya merambah dalam-dalam. Kau sibakkan pembungkus kemejamu lebar-lebar, mencoba menghalau hujaman hujan yang kian membasahi helai-helai hitam yang semakin kuyup. Aku merapatkan lenganku pada tubuh, kau menyumbangkan satu lenganmu melalui punggung. Cukup membantu.
Sedetik kemudian, kau mencoba mengalahkan suara deras dan memulai percakapan. Aku menjawab sekenanya. Tapi kau tak menyerah. Aku juga terus menjawab sekenanya. Tapi aku kian merasa kalah, pembicaraanmu menyita perhatianku. Seksama kudengarkan.

18 Maret 2015

Minggu, 08 Maret 2015

Hidangan Rindu

Oleh: Arini Hidayah, Lulu Farhatul Ummah, Luthfiatul Fuadah, dan Tasya Nanda Chinita

Kau meramu, meracik bumbu-bumbu
Tidakkah kau sadar aku mulai jatuh hati padamu?
Sejak kau memilah sayur-mayur terbaik
Sampai kau hidangkan, ada cinta tak tertahan
Jangan hanya beri bumbu, kenakan clemekmu!
Meramulah dan beri sedikit candu rindu
Sajikan dalam sepiring nasi untuk berdua
Kata orang, sepiring berdua bisa merasakan canda dalam romansa
Apa kau tidak berpikiran untuk mencoba?
Aku telah menunggumu di meja
Kapan kita bercinta dengan nikmatnya sepiring berdua?
Asa dalam diriku telah bercampur candu rindu
Kau pun bumbui dengan rempah-rempah pengharapan yang tak kalah banyak
Membuat semakin berselera
Ada yang menggelitik hidungku
Kutelusuri aroma itu seperti ada yang beda
Kau mencumbuku, memanjakanku
Dengan aroma yang selalu terngiang membuatku mabuk kepayang
Kau hanya mengajakku mencicipi setiap bumbu
Yang kau racik dengan candu rindu
Tanpa kau beri aku penawar terhadap bumbu itu
Kau hidangkan nasi dengan tumpukkan rindu di atasnya
Kau beri bumbu-bumbu sebagai pelengkap hidangannya
Rasanya kalbu ini menggebu-gebu
Kau buatku rindu
Berbahankan kasih dan sayang kau racik suatu hidangan yang membuatku kepayang
Kau tambah dengan sedikit pemanis sebagai pelengkapnya
Agar kita tetap harmonis nantinya


25 Februari 2015

Kepada Langit


Oleh: Arini Hidayah dan Cahya Ali Nur Ikhsan

Langit…
Tahukah engkau bahwa jiwa ini tak mampu menahan rasa?
Rasa rindu yang teramat menusuk
Bahkan langit…
Tahukah engkau tentang sesak yang terasa lantaran
Rindu tak jua tersampaikan?
Andai engkau tahu, wahai langit…
Tiap kali jemari ini rindu akan genggaman tangannya
Hanya mampu menyentuh sang kasih dari kejauhan tanpa menatap matanya
Tapi langit…
Bosankah kau mendengar doa-doa tulus yang kupanjatkan?
Bosankah kau mendengar harapan-harapan baik dariku untuknya?
Sampai kapan kau bersedia membendung
dan menahan doaku untuknya? Harapku untuknya?

Langit…
Jangan dulu lelah menjadi wadah keluh kesah
Jangan dulu sedih lantaran aku masih mengadu perih
Jangan dulu kecewa dengan pengaduanku atas luka
Juga jangan dulu bahagia ketika kuutarakan cinta
Jangan dulu merajuk dan meringis
kala kau tak mampu lagi membendung segala doa dan harap hingga hampir menangis
Setialah menjadi sandaran
Senantiasa mendekapku saat aku merasa terabaikan
Langit…
Dekap aku selagi rapuh
Bantu aku menikmati lelapku


Bekasi – Bandung, 26 Februari 2015

Sabtu, 14 Februari 2015

Surat untuk Mas Panji (2)

Hai, Mas Panji. Apa kabar? Ini surat kesekian dari Lila yang belum Mas Panji balas. Ingat ya, Mas Panji masih punya hutang membalas puluhan surat yang Lila kirimkan. Bagaimana kuliahnya? Lila dengar, kemarin BEM jurusan Mas Panji baru mengadakan event gitu ya? Sukses dong pastinya? Lila mau cerita, Mas. Kemarin, seharian Lila bersama Mbak Diandra, membicarakan apa saja yang bisa kita bicarakan, untuk kali ini, tanpa topik tentang Mas Panji.

Awalnya, kemarin itu hujan. Lila baru pulang habis latihan nari, Mas. Terus Lila neduh dekat pertokoan di depan perumahan Lila. Tadinya Lila mau hujan-hujanan saja terus sampai rumah, tapi pasti nanti ibu marah sama Lila. Jadi, Lila putuskan berteduh dulu. Sekitar lima menit Lila di tempat itu, ada yang datang berteduh juga, Mas. Ternyata Mbak Diandra. Lila tegur saja Mbak Diandra. Awalnya biasa, basa-basi saling tanya kabar, kegiatan, kabar keluarganya, ya pokoknya basa-basi biasa deh, Mas. Hujan makin deras, di dekat tempat Lila sama Mbak Diandra berteduh, ada kedai sosis bakar, kedai yang Lila ceritakan kemarin, Mas. Mbak Diandra ngajak Lila ke kedai itu, sambil nunggu hujan katanya. Ya sudah, Lila mau saja. Kita duduk di dekat jendela, Mas. Biar bisa sambil lihat hujan.

Awal pembicaraan, Mbak Diandra yang mulai. Mbak Diandra bilang kalau Mbak Diandra sudah tak ingin berlarut-larut tenggelam dalam kesedihannya, Mas. Lila jelas mendukung, demi kebahagiaan Mbak Diandra juga kan, Mas? Awalnya Lila sama sekali enggak tahu kalau pembicaraan Mbak Diandra itu dimaksudkan membicarakan Mas Panji, sebab Mbak Diandra hanya sekilas membahas itu. Lila juga enggan berlarut-larut membahas Mas Panji dengan Mbak Diandra. Lila takut cemburu, Mas. Takut. Lila tahu Mbak Diandra orang baik, cantik, dan taat beribadah, Lila enggak mau nyakitin hati Mbak Diandra, Mas. Jadi, Lila berusaha tidak menyinggung pembicaraan itu untuk mengarah membicarakan Mas Panji. Lila merasa itu sudah hal paling baik yang Lila lakukan, Mas.

Mas, belakangan Lila merasa hampir menyerah. Lila hampir tidak kuat setiap melihat raut wajah Mbak Diandra. Lila merasa bersalah, Lila merasa Mas Panji dan Mbak Diandra berhak bahagia tanpa Lila.

Lila dan Mbak Diandra membicarakan banyak hal, Mas. Bahkan sampai membicarakan tentang intensitas hujan yang belakangan menyebabkan banjir di mana-mana. Hahaha. Benar-benar hari yang menyenangkan, Mas. Seperti baru bertemu sahabat lama, Mbak Diandra ramah sekali, Mas. Dia sangat bersahabat. Mbak Diandra juga terbuka, dia juga menceritakan tentang keluarganya, kakak-kakaknya, dan teman-temannya. Mbak Diandra enggak sungkan ngobrol banyak sama Lila, Mas. Pembicaraan hangat di tengah hujan.

Mas Panji, kalau Lila berteman baik dengan Mbak Diandra, apa Mas Panji keberatan? Semoga enggak ya, Mas. Lila enggak mau punya musuh. Lila mau hidup rukun dengan siapa pun, Lila juga capek harus basa-basi terus sama Mbak Diandra. Lila mau berteman tulus sama Mbak Diandra, Mas, kayak dulu. Kayak waktu Mbak Diandra sama Lila masih di sekolah yang sama. Kita berteman (cukup) baik, Mas, dan Lila seneng.

Lila enggak minta banyak hal dari Mas Panji, Lila cuma kangen Mas Panji. Lila mau tahu kabar Mas Panji. Apa nama Lila yang masih terselip diantara doa-doa yang Mas Panji panjatkan? Atau justru Mbak Diandra yang selalu Mas Panji sebut-sebut? Atau ada 'Mbak' lain di kampus Mas Panji yang membuat Mas Panji betah di sana? Semoga Mas Panji selalu bahagia, dan baik Lila ataupun Mbak Diandra juga selalu bahagia. Aamiin. Lila tunggu balasannya ya, Mas. ^^

14 Februari 2015

Lila

Rabu, 11 Februari 2015

Bicara tentang Rasa

 Rasa ini memang tak terungkap, tapi mengalir dalam doa.
Ketika kau tak juga melihatku, pikiran berkata “menyerah”, tapi hati tak sependapat, ia mengatakan “berjuang”.
Aku sangat paham kau masih belum bisa berpaling darinya, aku masih sering mendengar dia bercerita tentangmu.
Ketika kau sibuk menggodanya, aku menyibukkan diri agar tak memperhatikanmu.
Padaku kau titipkan salam untuknya, pada malaikat aku titipkan salam untukmu.
Dia selalu dalam pandanganmu, kau selalu dalam pandanganku.
Aku memang munafik, mendukungmu dengannya, padahal remuk hati rasanya.
Semampuku sembunyikan segalanya, semampuku memperjuangkan segalanya, semampuku menantimu, meski akhirnya hatimu masih tertaut padanya.
Dia sibuk bercerita tentangmu, aku sibuk menata puing-puing hatiku.
Dia pernah bercerita membencimu, aku selalu mengagumimu meski hanya dalam kalbu.
Dia pernah menjadikanmu hanya selentingan tanda dalam kisah cintanya, aku selalu menjadikanmu yang utama.
Padaku dia ungkapkan keluh-kesahnya atasmu, pada Tuhan aku ungkapkan semua rasa sesakku.
Padaku dimintainya saran untuk menilaimu, pada Tuhan kuminta tetapkan hatimu untukku.
Dia mengharapkanmu? Akupun, jauh sebelum dia menyadari bahwa kau bermakna.

Bekasi, 31 Januari 2014


Surat untuk Mas Panji

Apa kabar, Mas? Semoga baik-baik saja. Bagaimana kuliahnya? Kalau Lila hitung dari kapan Mas Panji masuk kuliah, seharusnya sebentar lagi selesai. Lila nunggu surat dari Mas Panji, tapi enggak pernah sampai. Mas Panji pasti sibuk, makanya enggak pernah sempat kirim surat buat Lila, kan? Kabar Lila baik kok, Mas. Nilai Lila semester ini juga naik, Lila seneng banget. Mas Panji juga seneng kan dapat kabar baik dari Lila? Lila sehat terus, Mas. Kata ibu, Lila gemukan. Mas Panji jangan ketawain ya kalau nanti kita ketemu di Jakarta. Mas Panji kapan pulang dari Bandung? Ibu nanyain Mas Panji terus kapan pulangnya.
Mas, di deket rumah, ada kedai sosis bakar, baru buka minggu lalu. Nanti kalau Mas Panji pulang, kita ke sana ya? Mas Panji mau, kan? Oh iya, di depan perumahan juga ada kedai es krim. Kalau kedai es krim udah lama bukanya, Mas. Tapi kan Mas Panji udah enggak pulang dua tahun ini, jadi pasti Mas Panji belum pernah ke sana, kan? Nanti kalau Mas Panji pulang, selain ke kedai sosis bakar, kedai es krim, Lila juga mau makan di tempat kita makan nasi bakar waktu itu, Mas. Tapi waktu itu Mas Panji pesannya nasi goreng. Lila juga mau jalan-jalan naik kereta, ke Kota, atau ke mana saja, asal sama Mas Panji, dan ibu enggak boleh ikut! Hihihi, jangan bilang ibu ya, Mas.
Mas, Lila mau cepet-cepet lulus. Kalau Mas Panji mau menetap di Bandung, Lila jadi bisa nyusul Mas Panji ke sana kalau Lila udah lulus. Tapi Mas Panji harus ke rumah Lila dulu, minta izin sama ibu, yang artinya… Mas Panji mau serius sama Lila. Hehehe. Oh iya, Mas. Dapat salam dari Mbak Diandra. Kemarin Lila ketemu di stasiun. Dia masih nanyain Mas Panji. Lila jawab semua pertanyaan Mbak Diandra seadanya. Katanya Mbak Diandra udah mutusin Mas Panji, tapi kayaknya masih sayang ya sama Mas Panji? Buktinya masih nanyain Mas Panji kemarin.
Mas, Lila dapat hadiah ulang tahun, dari sahabat Lila, Amira. Amira kasih Lila sandal karakter kesukaan Lila, seneng deh. Hehe. Karakter sandalnya sama kayak boneka yang Mas Panji kasih waktu ulang tahun Lila yang ke-17. Masih inget kan, Mas? Hari ini ibu lagi baik banget, dari kemarin Lila mau makan bakso, tapi hujan. Hari ini ibu beliin Lila bakso. Hahaha.
Mas, Mas Panji udah mulai masuk kuliah ya? Bagaimana liburan kemarin, Mas? Andai Mas Panji bisa pulang, Lila masakin Mas Panji nasi goreng. Lila lagi belajar masak, Mas. Lila mau pintar masak kayak ibu. Tapi Lila udah jago masak nasi goreng, Mas. Meskipun baru Lila yang bilang kalau nasi goreng buatan Lila itu enak. Hihihi. Oh iya, bulan lalu temen-temen Lila ke Bandung. Lila diajak, Mas. Tapi enggak boleh pergi sama ibu, takut Lila capek kata ibu, soalnya bulan lalu Lila banyak kegiatan juga, Mas. Padahal, kalau Lila jadi ikut ke Bandung, kita bisa janjian ketemu kan, Mas? Pasti seru deh. Selama ini kan kita ketemu cuma di Jakarta, Mas. Belum pernah ketemu di Bandung.
Udah dulu ya, Mas. Dari tadi ibu panggil Lila, tapi Lila undur-undur. Mas, Lila sayang Mas Panji. Semangat ya kuliahnya! Biar cepet lulus, jadi bisa cepet pulang dan ketemu Lila, hehehe. Lila tunggu balasannya ya, Mas. Untuk kali ini, jangan sampai lupa. ^^
                                                                                                             12 Februari 2015


Lila

Senin, 09 Februari 2015

Diam-Diam Jatuh Cinta

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, dan Luthfiatul Fuadah

Kemarin, melalui mimpi kita bersua dalam hangat.
Desau angin berbisik lirih mengenai rindu yang enggan padam.
Di sana aku bisa mengingkari kenyataan.
Kita bisa terus bersua tanpa kenal bosan.
Bukankah itu yang selama ini kita semogakan?
Karena dalam jumpa tak sengaja mata kita bercerita tentang harap kita pada cinta.
Pada arti kata bersama; aku dan kamu.
Seiring pandang mata yang menyematkan kita pada asa,
meski dekap belum leluasa,
nyatanya kita masih bebas meminta dalam doa.

Dengarkanlah pada temaram panjang…
Ada yang diam-diam berbahasa, menyampaikan berpatah-patah kata.
Ada yang diam-diam mengucap amin dalam hatinya, karena doa untuk cinta.
Ada yang diam-diam merunduk karena menahan rindu dalam dada.
Ada yang diam-diam meradang bila ada yang lain dalam pandang kasihnya.
Ada yang diam-diam merasa diri paling tahu dan ingin tahu segalanya.
Ada yang diam-diam berdoa untuk tetap bisa bertemu mata.
Dan ada yang diam-diam jatuh cinta.


Bekasi-Sukabumi, 9 Februari 2015

Kau Kemana?

Di pelataran bank aku masih menunggu. Hujan. Kau berjanji datang menjemputku setelah aku menyelsaikan urusanku di bank. Berkali-kali aku menghubungimu, tanpa jawaban. Pesanku tak kau balas. Teleponku tak kau angkat. Terakhir kudengar suara wanita petugas provider ponselmu yang meminta maaf atas namamu karena kau tak bisa menjawab teleponku.
Satu jam, hujan makin deras. Aku makin risau. Kalau kupaksakan pulang, pakaianku akan basah dan kemungkinan terburuk, kau marah karena aku tak sabar menunggumu. Petir. Aku takut. Pukul tiga sore, bank tutup. Semakin sore, satu per satu karyawan bank meninggalkan gedung. Aku? Masih di pelataran, menantimu. Hampir pukul empat, kau masih tak memberi kabar, aku masih menanti. Pukul empat lewat, kau masih tak membalas pesan, tak menjawab telepon. Hampir pukul lima, kucoba menghubungimu lewat berbagai sosial media, masih tanpa kabar. Senja, hampir maghrib. Hujan berhenti, sisa rintik. Aku mendongak, menengadahkan tangan ke bawah langit, setetes dua tetes. Hampir kering.
Aku beranjak tanpa kabar darimu. Pergi. Kuberhentikan mobil sedan berwarna biru, kendaraan umum menengah ke atas. Masuk. Duduk, dan sambil menggigit jari kulihat keluar jendela, kalau-kalau aku menemukanmu sedang dalam perjalanan berlawanan arah. Nihil.
Kau kemana?
Sampai di rumah. Setelah membayar, aku masuk. Mandi dan berganti pakaian. Kuhabiskan sisa malamku di kamar, sambil memandangi ponselku tanpa ada penambahan pemberitahuan di layarnya.
Hampir pukul sembilan, layarku berkedip. Satu pesan. Kamu. Kubuka;
"Maaf, aku harus tetap di rumah sampai satu minggu ke depan. Ada persiapan pertunanganku dengan gadis pilihan orang tuaku."
Hujan turun. Deras. Petir bersahutan. Deras membasahi pipi. Semakin malam, semakin larut, terlelap dalam sedih.

Di kursi tunggu, dalam bank. 10 Februari 2015

Selasa, 03 Februari 2015

Sajak Rindu

Oleh: Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, dan Luthfiatul Fuadah

Tung tung paratuntung. Begitu kau biasa bersajak, Mak. Ah rindu aku bergurau, berkeluh-kesah manja. Menghabiskan berjam-jam waktu. Sahabatku.
Seperti malam ini, lekat kupandangi gambar pengabadian cerita kita hari itu. Setetes demi setetes turun membersamai tangisan langit.
Sewaktu itu dalam ruang kecil kedap suara, tempat kita beradu cerita yang “katanya” pilu, tetapi denganmu pecah tawa dalam gulita.
Seperti malam kemarin, cerita kegundahan ini belum selesai. Denganmu kubiasa bercerita. Kini sedikitpun waktu belum berpihak pada kita untuk bergurau bersama.
Apa boleh kuutarakan rindu? Maaf, aku melunjak. Aku sangat rindu. Saat dekap hangat kita bertemu, denganmulah aku menemukan diriku. Lugu. Apa adanya.
Sejujurnya, seluruhnya rindu. Sangat rindu. Ingin mendekapmu walau raga ini tak sampai.
Setiap temaram berbayang aku yang tengah menimang rindu padamu gadis-gadis jalang tersayang.
Sesungguhnya aku terharu. Bagaimana tidak? Kau begitu tulus merindukanku. Sehingga aku tidak merasakan pahitnya kerinduan yang tak terbalas.
Kubilang, kau boleh terharu mulai sekarang. Sebab rindumu kubalas lebih dalam. Tak bertepuk sebelah tangan.

30 Januari 2015


Kamu; Bagian 1

Lekat kupandangi potret wajahmu sedari tadi. Lamat-lamat kutelusuri dari ujung kepala sampai hati.
Aku selalu protes, saat kau berusaha menyaingi panjang rambutku. Aku ingin rambutmu tertata rapi. Pada puncak tubuhmu, aku ingin memberikan sensasi usapan paling melenakan di sana. Mengantarmu terlelap di setiap malamnya. Membiarkanmu melepas penat kepalamu di pangkuanku. Nyenyak, dan bermimpi indah.
Aku selalu ingin menyentuh tegas rahangmu. Mengikuti alurnya dari pelipis sampai dagu. Merasakan pakem-pakem tulang wajah yang begitu gagah. Lebih dekat kupandangi. Aku pun ingin mendaratkan telapak tanganku di kedua pipimu. Memberikan sensasi usapan hangat di kedua sisinya. Menyatakan rasa melalui isyarat yang begitu nyata.
Aku ingin berselancar di antara alis matamu sampai dasar hidung yang bentuknya jauh lebih sempurna dari milikku. Tapi aku tetap mensyukurinya. Bukankah kau jatuh cinta pada hidungku? Kau boleh tertawa.
Aku selalu ingin menyentuh senyum itu. Menarikan jemariku di sana. Cukup jemari, tanpa menarikan sepasang bibirku di sana. Ada waktunya. Aku ingin jadi sebab dari akibat pemanis wajahmu terus berkembang di singgasananya.
Pada spasi antara jenjang leher dengan pundakmu, aku ingin sisipkan daguku yang bersandar di sana. Berlawanan. Begitu pun kau yang mematokkan dagumu di pundakku. Dalam dekap yang membuat jarak di antara kita begitu dekat. Di antara tubuh yang hampir tiada celah, aku terlalu hatam aromanya. Aku begitu menyukai wewangian yang kau semprotkan pada tubuh, itu salah satu hal pemicu rindu yang paling ampuh.
Dalam rongga yang bidang, semoga aku pengisi bagian yang rumpang.


Bekasi, 3 Februari 2015

Rabu, 28 Januari 2015

Selamat Pagi

Siapa yang menyangka, di pagi hujan, dingin, sendirian, datang seseorang yang kau sayangi dengan tangan ajaibnya yang membuatkan menu sarapan kesukaanmu masih hangat sehabis dingin hujan? Bisa kau bayangan betapa indahnya pagimu kalau itu terjadi?

Pagi itu terjadi padaku. Hujan, dan kupikir semua akan membosankan. Berlindung di bawah selimut sudah jadi rutinitasku saat hujan semenjak dokter memvonis tubuhku antipati terhadap dingin, dan kalau sampai suhu kamar sangat dingin (bagiku), bisa jadi anak ingusan sepanjang hari. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Bisa aneh seharian bersanding dengan kotak tissue di mana pun kuberada. Dan yang paling parah adalah bolak-balik ke toilet saat tissue-tissue itu sudah tak mampu lagi membantuku dari musibah yang terjadi —skip. Pembatalan pertemuan sudah hampir menemui kata sepakat ketika akhirnya aku menemukan surya menyembul dari balik awan sambil menampakan senyum hangatnya. Dan, finally... meet up with him! Yeay\(^o^)/

Kusambar handuk dengan segera, bergegas menuju kamar mandi. Memilih pakaian yang 'paling layak' kukenakan —kegiatan satu ini memakan waktu yang cukup lama, maklum wanita. Dan menunda sarapan! Mengapa? Sebab ada yang berjanji akan membuatkan aku sarapan, ting!

Ketukan pintu terdengar, mengagetkan, dan berhasil membuat jantungku hampir berlonjak kegirangan. Senyum hangat yang sudah lama tak kulihat, aroma tubuh yang sudah lama tak kucium, dan... look! Dia membawa sekotak bahan dasar yang akan disulap oleh tangan ajaibnya untuk aku sarapan. What a wonderful morning! Pekerjaan wanita yang paling sulit kupelajari —memasak. Tapi tidak mematahkan semangatku untuk jadi koki andalan dalam keluarga kecilku nanti. Ini akan jadi pemandangan paling indah sepanjang hari. Biasanya, aku yang harus sibuk menyiapkan bahan masakan, berpanas-panas ria di dekat wajan dan kompor, siaga mengawasi tingkat kematangan apa yang sedang kumasak, dan memikirkan bagaimana menghidangkannya. Tapi pagi ini berbeda, aku cukup berdiri santai memandangi punggung pria yang kusayang, sibuk dengan rentetan bumbu dapur, minyak panas, dan permainan rasa, demi menciptakan sarapan pagi paling istimewa di dunia. Menu sarapan yang paling kusuka. Meskipun hanya sepiring nasi goreng —yang menurutku terlalu banyak, dan akhirnya dihabiskan berdua, sudah cukup menjadikanku gadis paling istimewa pagi itu.

Sekadar membayangkan pagi itu terjadi saja, tak pernah. Membayangkan pria yang kusayang membuatkan sarapan pagi untukku saja belum pernah. Memandangi wajahnya sampai surya menginjak titik zenit tanpa sedikit pun berpaling saja, itu sudah terlalu mewah. Tapi semua itu terjadi, hari ini. Ditambah dekapan hangat penumpah rindu yang selama ini menggarang minta dituang. Semua tercurah sudah.

Bahagia itu, sederhana. Sesederhana cintanya yang membuatmu (selalu) merasa istimewa. ^^
...
Bekasi, 27 Januari 2015

Minggu, 25 Januari 2015

Catatan Seseorang; Lita

Aku seperti wanita paling baik di dunia. Mengapa? Kisahku hanya tentang seberapa rela aku berbagi pria. Masalahnya sama, hanya setiap pria yang bersamaku, pasti memiliki wanita lain yang membayanginya. Mengapa 'setiap pria'? Iya, karena aku belum menemukan alasan yang lebih maskulin ketika mereka memutuskan untuk berpisah denganku. Selalu ada ekor setelah kuselidiki dengan berbagai adegan macam detektif.

Apa pria-pria yang sudah kutemui berperilaku baik? Sangat. Dengan begitu, mereka menutupi bulu kasar mereka untuk mengelabui aku dalam perburuannya. Apa mereka berhasil? Sukses betul rasanya. Mereka sangat berhasil membuatku merintih-rintih perih lantaran luka cakaran yang mereka sayatkan tepat pada tempat bersarangnya perasaan untuk mereka. Tidakkah setiap pria yang pernah kutemui menjanjikan kesetiaan? Uh! Janji ya janji, kenyataan ya kenyataan. Janji tanpa realisasi? Sudah hatam kuseruput habis sampai ampas yang tertinggal dalam cangkir; pahit.

Tidakkah mereka merasa bersalah? Dari yang paling murah mengumbar maaf, sampai yang paling mahal mengucap maaf —alergi mungkin, sudah kuhatamkan teori tanda-tanda mereka akan mengulangi hal yang sama. Mungkin kalau aku ikut ujian, aku sudah mendapat nilai sempurna. Tidakkah sedikit pun mereka menyesal? Tanyakan saja! Rasanya sudah mual memakan kata sesal yang cita rasanya tak pernah pas pada perilaku setelahnya.

Kapan aku berhenti dengan mereka? Aku sudah menghentikan permainanku dengan mereka sejak mereka sampai pada petak 'parkir bebas'. Aku selalu sampai 'start' lebih dulu. Sekali pun dengan gertakanku akan mencari yang baru, mereka belum juga hengkang dari petak itu, malah semakin nyaman betul rasanya melihat mereka di sana. Tidakkah aku mendambakan kesetiaan seperti kesetiaan yang pernah kuperjuangan pada pria-pria yang pernah kutemui? Sangat. Setidaknya saat aku memberikan sikap terbaikku, dia bisa membalas sebaik yang aku berikan.

Apa sekarang aku sedang dekat dengan seseorang? Iya, ada. Benteng yang tebal sudah kubangun. Kalau-kalau dia menghancurkanku lagi, paling tidak aku masih punya tempat berlindung. Apa dia bersih dari wanita yang mengekor? Hahaha, mungkin dia sempat memangkas ekornya sebelum dia menemuiku agar jejaknya tak terbaca. Begitu buruk prasangkaku terhadapnya. Mengapa? Tidak, tidak. Hanya berhipotesis karena terlalu sering aku menemukan spesies sejenisnya. Apa aku mengharapkan semoganya hanya aku? Sebenarnya, itu keinginan terbesarku. Semoga saja.

Masihkah aku mau jadi wanita yang paling baik di dunia? Jika syaratnya dengan berbagi pria, aku takkan pernah bersedia.

Sebenarnya aku siapa? Lita.

Bekasi, 26 Januari 2015

Sabtu, 24 Januari 2015

Surat Cinta; Sketsa

Sebuah amplop berwarna putih. Surat cinta dari seorang laki-laki. Aku hafal betul aroma tubuhnya. Hafal betul tatapannya, hafal betul kerlingan matanya, hafal betul genggaman tangannya. Aku hafal betul perasaannya. Tepat hari ini, di bawah surya yang menggarang, laki-laki itu sedikit berlari; menghampiriku. Aku hafal betul seperti apa perasaannya saat berlari, seperti ingin meraih angan yang selama ini sudah terbayang. "Terima kasih," nada paling antusias yang bisa kukeluarkan sembari tangan kananku menerima uluran surat cinta dari laki-laki itu.
Peluhnya bercucuran, tenaganya terkuras habis seharian. Aku ingin kembali jadi tumpuan, saat lelah sedang menggerogoti tubuhnya perlahan. Aku ingin kembali jadi penyemangat yang paling semangat, aku ingin kembali jadi pendukungnya yang paling antusias, yang mempertahankan senyum kebahagiaan pada wajahnya dengan tubuh yang sudah berjuang terlalu jauh.
Sampai tiba di hunian, kubuka amplop pemberiannya tadi. Laki-laki itu terlalu tulus menggurat pensil terlalu mulus di atas kertas yang awalnya terlalu lurus. Aku hampir lepas kendali, berloncatan ke sana ke mari. Harus kutempel sketsanya di dinding sebelah mana lagi? Namun, tujuan laki-laki itu tidak pada titik dinding tempat sketsa itu kelak menyarang. Tapi pada yang terletak di hunian; cinta.
...

Bekasi, 24 Januari 2015

Aduan

Mah, aku seperti dibuang.
Padahal surya sedang garang.
Hujan terlalu baik karena tidak datang.
Membiarkan semua tetap riang.

Mah, tapi aku kedinginan.
Sekedar senyum tak berkenan.
Apalagi sapa kepada hunian.
Rasanya berat untuk didambakan.

Mah, aku seperti diabaikan.
Ke mana jemari yang mengisi genggaman?
Ke mana, Mah?
Ke mana?

Dalam titik yang paling bisu.
Aku tak menepis tatapan yang beradu.
Tapi aku ingin meraihmu.
Tepat di titik itu: rindu.

Dalam titik yang paling bisu.
Aku mempertanyakan kita yang (tidak) menyatu.
Apakah semogamu (masih) aku?

Rabu, 21 Januari 2015

Presipitasi Berwujud Cairan

Oleh: Arini Hidayah

"Aku menyukai presipitasi berwujud cairan,
seperti biasan cahaya yang datang setelahnya."

Deras. Tubuh melemas.
Tak bisa segera pulang. Dihadang.
Basah. Seluruhnya tanpa celah.
Sendirian berteduh. Rapuh.

Bedua. Berteduh disisi jendela.
Kaku malu-malu. Tersipu.
Banjir. Tergoda bermain air.
Gelak tawa menggema. Canda.

Berlalu. Aku masih bersamamu.
Tepat di akhir hari. Menemani.
Pulang. Kau antar aku sampai gerbang.
Tiba meski semua kuyup basah. Rumah.

Esok. Tidak lagi berniat belok.
Tertuju satu tujuan. Ke depan.
Bersama. Melangkah menikmati cinta.
Di bawah derasnya bergandengan. Hujan.

"Aku membenci presipitasi berwujud cairan,
seperti terik yang tak pernah datang bersamanya."

Pisah. Bersama sudah gerah.
Tak mampu lawan rintang. Perang.
Hujan. Sudah tak mampu lagi ungkapkan.
Pasrah pada takdir. Berakhir.

Kecewa. Kudengar hujan baru temukan pelanginya.
Sedang hatiku berangsur mengeras. Panas.
Beku. Sedang tatap dan laku jadi kaku.
Berhenti berperang. Pulang.

Mesra. Hujan selalu diiringi pelanginya.
Sebab setia sudah tak lagi ada. Dusta.
Makna. Cinta tak lagi membara.
Berujung pada muara laut. Kalut.

Indah. Tentang hujan memang tak pernah berubah.
Tapi bagai panas gelisah. Pisah.
Bersamamu. Bagai hujan dengan panas yang tak padu.
Katamu cinta masih tersisa. Percaya.

Bekasi, 21 Januari 2015

Jumat, 16 Januari 2015

Semogaku

Dimohonkan oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Sekali ini kuucapkan cinta padamu; semogaku. Namun, takut sendirinya menyarang, masihkah kau selembut dulu? Seperti ketika tatap belum berani mengharap?
Semogaku; di setiap tatap menyelinap harap yang lama mengendap dan tak pernah sepatahpun terucap. Saat senyap aku berharap kau ada, berhadap dan mendekap.

Pada senja, kau terbayang di pelupuk mata. Dalam buai, harapku melabuhkan rindu padamu semogaku yang senantiasa diaminkan malaikat malam yang bercengkrama.
Kepada semogaku; merasakan jatuh yang tak sakit pada tatap pertama peraduan mata, sejak itu kau hadir, membuktikan kuasa Tuhan menghadirkanmu sebagai takdir.

Aku diam didekap malam, pada rindu yang baru saja tersampaikan sebab kau pulungi celotehku begitu tenang. Sejurus ada yang diam-diam jatuh. Jatuh cinta.
Kehanyaan padamu dihaturkan rasa yang begitu agung, sampai pada satu titik, tak lagi kutemukan belahan dari rasa itu. Tetap padamu, kehanyaan satu.

Sekali ini kuberanikan menangkap bola mata yang teduh mengusik sukma. Segaris senyum simpul yang selaras dengan rona wajah sendu. Aku, jatuh cinta.
Teruntuk yang selalu kusemogakan dalam doa; biarlah kuselalu jadi pengagum rahasia.


30 Desember 2014

Emosi Kopi


Diracik oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Secangkir kopi yang tak sengaja kutenggak ternyata bukan sekedar kopi. Rasanya tak hanya pahit, namun masam tertinggal di kerongkongan. Kopi rasa kemarin.
Kopi kemarin terasa manis karena ditenggak secangkir berdua dengan bibirmu. Namun rasanya cepat berubah secepat hilangnya pedulimu. Masam kini hilang kamu.
Ya, masam! Tak ada aroma menyeruak hangat. Sebab yang tersaji hanya secangkir kopi rasa kemarin. Tanpa gula, dan tanpa kamu sebagai pelengkap malam.
Asam di lambungku kini mulai naik. Ingin kumuntahkan kopi masam di tengah kejahanaman malam. Lalu kurauk muntahku dan kupoleskan padamu yang hanya diam.

Apa kau tak ingat cangkir terakhir yang kubuatkan? Takkan masam jika tak kau biarkan, tak kau abaikan.
Butiran serbuk kopi ketika diseduh, memberikan aroma yang khas dan aku ingin seperti butiran robusta. Apakah kau mengetahuinya?
Juga kafein yang menggoda pada malam, memaksa tak boleh terpejam. Sebab masih tersisa setengah cangkir kopi yang harus kau tenggak tapi tak ingin kau buang.
Kopi memang pahit, tapi bergitu nikmat jika diberi gula dan tentunya akan digemari. Begitupun kau selalu kugemari walau kutahu dalam kenyataan terasa (pahit).

Aroma kopi menyeruak ditengah gaduh dalam ruang menyelinap rongga hidung sampai tertengguk kerongkong, hangat dalam badan. Ya, secangkir kopi pada malam jahanam.
Malam itu kita berdua dengan secangkir kopi, pelukmu semakin erat tatkala malam semakin penat. Bibirmu menyentuh mulut cangkir dengan lembut, padahal hati menciut.
Sejujurnya aku khawatir, lakumu yang setiap saat mengambang di pelupuk mata esok hilang tanpa bilang.
Kopinya sengaja tak sehari habis, siapa tahu masih sama manis karena bibirmu yang aduhai manis. Tapi sungguh tragis, manisnya jadi masam seiring kau berubah jadi yang maha kejam.

Kendati kini cangkir itu tak lagi milik berdua. Kau pergi menyisakan sidik bibirmu di pinggir mulut cangkirnya. Bukan main masamnya, aku jadi hilang selera.
Bila boleh pengandaianku, kuandaikan senyatanya inginku berhentikan waktu saat di mana aku menggigil, lalu kau peluk ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan.
Dan kendati cangkirku tak lagi dipenuhi kopi racikanmu, kuandaikan malam itu bahumu sejajar membersamaiku. Kubayangkan wajahmu dalam cangkir kopiku.
Kopi kemarin yang aku sajikan sudah pasti masam rasanya. Tak enak. Sudah cukup kau berandai, tak baik pengandaianmu. Hanya tergadai!

Aku ingin secangkir kopi terakhir malam itu. Ya, kopi robusta yang kau racik nikmat tiada tandingan. Oh sungguh, bualan kopi terus saja memanjakanku pada malam.
Secangkir kopi perempuan jahanam pada malam jahanam untuk laki-laki jahanam tuntas kuseruput habis.


30 Desember 2014