Pada suatu hari saat dirimu terjebak pada lidah yang tak mampu berucap, semoga tarian jemarimu masih sanggup mengungkap.
Postingan Populer
-
Seperti Sebuah Dongeng Judul Buku : Goodbye Happiness (Cinta yang Takkan Usai) Penulis : ...
Kamis, 24 Desember 2015
Akan
Kamis, 12 November 2015
Ayah
Minggu, 26 Juli 2015
Kelana
Kamu tahu rasanya menyimpan rindu berwaktu-waktu? Tapi temu tak berhasil meredamnya, justru membengkakkannya. Iya, harusnya temu jadi media bicara. Tapi angin mengabarkan sesuatu yang sulit diindera. Sesak. Tapi aku yakin, aku sudah di posisi yang benar; mencintaimu dengan segenap rindu yang kutimbun sekian waktu. Perihal pengkhianatan dan lain sebagainya, itu urusanmu. Bukan urusanku.
~
Sore ini, tepat bulan ke-17, hari ke-519, jam ke-12.456, menit ke-747.360, dan detik ke-44.841.600 seharusnya kita bertemu, membayar semua tagihan rindu, dan mencuci semua noda prasangka. Tapi kau dituntut jam kerja, waktu istirahat, dan forum temu kangen dengan teman-teman lamamu. Kalau kutanya tentang kapan kita bertemu? Kau selalu mengelak, mengandalkan kesibukanmu sebagai alasan terkuat.
Ini sudah dua bulan lamanya setelah tatap mata kita yang sebelumnya. Tanpa pertemuan lagi dan tanpa dering ponsel di pagi hari. Sesekali pesanmu masuk sekadar menuding pernyataan bahwa aku merindukanmu, lalu kau jadikan bahan tertawaan sebelum akhirnya kau mengakui juga merindukanku –entah tulus atau tidak. Tapi aku tetap menantikan saat itu. Entah bagaimana rasanya, tapi saat-saat itu selalu kumanfaatkan untuk tetap bisa berkomunikasi denganmu; sesulit itu. Terakhir kali kumeminta waktu, kau hanya sempat bilang, “Aku lagi sibuk kerja, mungkin enggak ada waktu buat ketemu kamu. Maaf ya.” Aku bisa apa? Iya, namanya juga wanita. Aku habiskan waktuku menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca, memotret, berbelanja, mencicipi makanan ini itu dengan teman-teman dekat, sekadar menghadiri ajang reuni –ajang curhat dengan teman lama, atau chatting dengan teman-teman dekat yang terbatas ruang dan waktu hingga larut malam. Mengenaskan! Selalu, sebelum tidur atau setelah bangun tidur, berkali-kali memeriksa pemberitahuan dalam ponselku, kalau-kalau tertera namamu aku bisa langsung membalasnya dan mendapatimu dengan waktu luang untuk sekadar berbalas pesan singkat denganku.
Tapi berwaktu-waktu lamanya, firasatmu tidak juga berhasil memprovokasikan hasratmu untuk melepas tuntas segala rindu, membebaskannya tanpa batas, meluruhkannya hingga habis sudah bara rindu setelah sekian waktu kutimbun hingga tertumpuk debu. Kau tak juga meminta waktu.
~
“Lan, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?”
“Iya, Win. Aku enggak akan marah. Coba cerita,” dengan seulas senyum.
“Rabu lalu, Kris, Lan. Kris…”
“Kenapa Krisna, Win?” kugoncangkan pundak Windi.
“Krisna ingin Sitha jadi pacarnya,” suara Windi memelan, diiringi nada bersalah yang dalam.
“Mungkin itu yang terbaik untuknya, Win.”
“Pasrah betul! Dia sudah menjanjikanmu apa saja, Lan?”
“Krisna bilang, dia ingin bersamaku untuk menjalani masa depannya, Win.”
“Ah, pria! Krisna sudah berapa lama tidak menghubungimu?” Windi penasaran.
“Dua bulan.”
...
26 Juli 2015
Minggu, 05 Juli 2015
Pergi
Ada yang sedang tidak ingin saya tulis. Saya sudah hatam semua kosakata yang membahasakannya, tapi tidak ada yang mampu mewakili percikan rasa yang muncul untuknya. Sudah lama betul rasanya sejak sepeninggalnya, saya tidak lagi melukisnya lewat kata-kata. Akibatnya kalau saya berani melukisnya lagi, dia akan muncul dalam bayang-bayang mengelilingi bola kepala saya berputar-putar dan nanti akhirnya saya hanya akan dibuatnya pusing lantaran terus memikirkannya. Dia sudah tenang di sana, menari dengan para bidadari khayangan memandangi senyuman bidadari itu sambil memegang kedua tangannya menggandengnya berjalan-jalan berdua di taman surga. Sayangnya, dia pergi membawa separuh hati saya. Di tahannya hati saya dalam penjara yang dia buat sendiri yang saya tidak mampu menembusnya hanya untuk mengambil separuh hati saya yang tertinggal di sana.
Hari itu, saya menangis sejadi-jadinya membayangkan tidak ada lagi dia sebagai sandaran saya, penuntun saya, pemandangan mata saya, satu-satunya suara yang saya dengar, dan ladang hatinya di mana saya bisa bebas berlarian ke sana-sini tanpa pernah merasa lelah. Dia membeku di balik helai kain yang menutupi leher hingga kakinya secara sempurna, sedikit kain tembus pandang yang menutupi puncak kepalanya sampai dada. Dia pergi menyisakan kenangan yang nyatanya sampai lima tahun kepergiannya belum bisa saya lupakan sedetik pun. Saya masih ingat satu hari sebelum dia pergi, dia masih menggenggam tangan saya dan melarang saya pergi dari sisinya saat tubuhnya sudah mulai lemas. Satu minggu sebelum dia pergi, dia masih meminta saya membuatkan semangkuk bubur untuk sarapannya saat tenggorokannya sudah alergi terhadap makanan yang teksturnya kasar. Satu bulan sebelum dia pergi, dia masih suka mengajak saya berjalan-jalan, mengitari gedung yang aromanya seperti kamar bedah. Satu tahun sebelum dia pergi, dia masih mengajak saya makan di rumah makan kesukaannya dan membawakan saya setangkai mawar merah. Satu windu sebelum dia pergi, dia mencoret-coret seragam putih abu-abu saya dengan belasan tanda tangannya yang ukurannya bervariasi. Satu dasawarsa sebelum dia pergi, dia menggambar sketsa rumah yang cukup asri dan dia bilang, "Nanti kalau kita menikah, aku akan mendesain rumah kita agar seasri ini, supaya kamu bisa berkebun di sekelilingnya sambil melihat anak-anak kita berlarian dengan riangnya, dan aku akan mengabadikan semua kejadian itu dalam lensa kamera." Dengan yakin saya aamiin-kan angan-angannya agar kelak menjadi nyata.
Lantaran hari di mana saya akan menjadi nyonya atas namanya sudah ditentukan, dia mulai kehilangan kesehatannya. Rasanya saya ingin mempercepat apa yang bisa saya lakukan di waktunya yang sempit untuk mewujudkan semua angan-angannya. Tapi nihil, semua terencana bahkan di saat dia belum berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh orang sehat. Saya menyayangkan dua hal, khayalannya yang belum dapat saya bantu wujudkan dan perasaan saya padanya yang tulus dan belum berkurang sejak saya kenal dia bahkan sampai saat dia pergi malah mengalami pertambahan.
...
Subuh, 6 Juli 2015
Jumat, 15 Mei 2015
Penerimamu
Ada hadiah yang kudapat hari ini. Sesuatu yang kuperjuangkan diam-diam, juga sedang memperjuangkan hal lain pun secara diam-diam. Aku telah kembali –pikirku. Aku sudah memulai segalanya (lagi), yang secara tidak langsung aku sedang bermain api lagi. Api yang kumainkan membakar diriku sendiri. Aku menunda segala yang datang padaku, menghalau mereka agar jarak mereka padaku masih bisa kuawasi kalau-kalau mereka terlalu lihai mengambil langkah mendekati. Tapi semua sia-sia. Sama seperti pikirmu yang menganggap apa yang kau lakukan sia-sia.
Ada rasa penasaran setiap hasrat menuntun jemari membuka pesan masuk. Tertera namamu. Selanjutnya, ada rasa tenang kau masih berkenan membalas segala pesan yang diam-diam kukirimkan –tapi kau juga diam-diam mengirimkan pesan kepada penerima lain. Kau menyembunyikan identitas penerima itu dariku agar aku tidak berusaha mencari tahu siapa dia. Tidak. Aku pun tidak berminat mencari tahunya. Rasa sesalku sudah cukup menyesakkan sebab mencari tahu penerima pesan diam-diammu sebelum penerima yang semakin intensif menerima pesan diam-diammu dewasa ini.
Ada rasa sesak yang tertancap sukar kucabut. Hati habis memaki, manusia macam apa yang menyatakan hatinya untukku tapi raganya milik orang lain? Tidak adakah manusia yang hati dan raganya menyatakan milikku? Memilihku?
Aku bercermin akanmu, waktu yang tepat yang kutunggu. Kau menantang ketegasan atas pilihanku. Kulakukan! Aku selesaikan urusanku dulu dengannya, baru akan kumulai lagi denganmu. Tapi naas… aku terlambat.
Nama penerima diam-diammu kini terpampang jelas di depan mata. Menunjukkan ada strategi yang kau lakukan diam-diam selagi kau memperjuangkanku –katamu. Kau menganggap memperjuangkanku sia-sia, tapi aku menganggap menunggumu kembali memintaku juga sia-sia. Pergerakanku mundur darinya untukmu, juga jadi sia-sia. Penolakanku pada yang mendekat pun, juga jadi sia-sia. Kesendirianku, segala usaha membangun dinding dipinggiran hatimu agar senantiasa aku yang mengisinya, juga jadi sia-sia.
Apa lagi yang bisa kukatakan selain “selamat tinggal”? Serta segala cita agar kau senantiasa bahagia?
15 Mei 2015
Selasa, 05 Mei 2015
KISAH PENGECUT
Selasa, 17 Maret 2015
Seksama Kudengarkan
Minggu, 08 Maret 2015
Hidangan Rindu
Kepada Langit
Sabtu, 14 Februari 2015
Surat untuk Mas Panji (2)
Hai, Mas Panji. Apa kabar? Ini surat kesekian dari Lila yang belum Mas Panji balas. Ingat ya, Mas Panji masih punya hutang membalas puluhan surat yang Lila kirimkan. Bagaimana kuliahnya? Lila dengar, kemarin BEM jurusan Mas Panji baru mengadakan event gitu ya? Sukses dong pastinya? Lila mau cerita, Mas. Kemarin, seharian Lila bersama Mbak Diandra, membicarakan apa saja yang bisa kita bicarakan, untuk kali ini, tanpa topik tentang Mas Panji.
Awalnya, kemarin itu hujan. Lila baru pulang habis latihan nari, Mas. Terus Lila neduh dekat pertokoan di depan perumahan Lila. Tadinya Lila mau hujan-hujanan saja terus sampai rumah, tapi pasti nanti ibu marah sama Lila. Jadi, Lila putuskan berteduh dulu. Sekitar lima menit Lila di tempat itu, ada yang datang berteduh juga, Mas. Ternyata Mbak Diandra. Lila tegur saja Mbak Diandra. Awalnya biasa, basa-basi saling tanya kabar, kegiatan, kabar keluarganya, ya pokoknya basa-basi biasa deh, Mas. Hujan makin deras, di dekat tempat Lila sama Mbak Diandra berteduh, ada kedai sosis bakar, kedai yang Lila ceritakan kemarin, Mas. Mbak Diandra ngajak Lila ke kedai itu, sambil nunggu hujan katanya. Ya sudah, Lila mau saja. Kita duduk di dekat jendela, Mas. Biar bisa sambil lihat hujan.
Awal pembicaraan, Mbak Diandra yang mulai. Mbak Diandra bilang kalau Mbak Diandra sudah tak ingin berlarut-larut tenggelam dalam kesedihannya, Mas. Lila jelas mendukung, demi kebahagiaan Mbak Diandra juga kan, Mas? Awalnya Lila sama sekali enggak tahu kalau pembicaraan Mbak Diandra itu dimaksudkan membicarakan Mas Panji, sebab Mbak Diandra hanya sekilas membahas itu. Lila juga enggan berlarut-larut membahas Mas Panji dengan Mbak Diandra. Lila takut cemburu, Mas. Takut. Lila tahu Mbak Diandra orang baik, cantik, dan taat beribadah, Lila enggak mau nyakitin hati Mbak Diandra, Mas. Jadi, Lila berusaha tidak menyinggung pembicaraan itu untuk mengarah membicarakan Mas Panji. Lila merasa itu sudah hal paling baik yang Lila lakukan, Mas.
Mas, belakangan Lila merasa hampir menyerah. Lila hampir tidak kuat setiap melihat raut wajah Mbak Diandra. Lila merasa bersalah, Lila merasa Mas Panji dan Mbak Diandra berhak bahagia tanpa Lila.
Lila dan Mbak Diandra membicarakan banyak hal, Mas. Bahkan sampai membicarakan tentang intensitas hujan yang belakangan menyebabkan banjir di mana-mana. Hahaha. Benar-benar hari yang menyenangkan, Mas. Seperti baru bertemu sahabat lama, Mbak Diandra ramah sekali, Mas. Dia sangat bersahabat. Mbak Diandra juga terbuka, dia juga menceritakan tentang keluarganya, kakak-kakaknya, dan teman-temannya. Mbak Diandra enggak sungkan ngobrol banyak sama Lila, Mas. Pembicaraan hangat di tengah hujan.
Mas Panji, kalau Lila berteman baik dengan Mbak Diandra, apa Mas Panji keberatan? Semoga enggak ya, Mas. Lila enggak mau punya musuh. Lila mau hidup rukun dengan siapa pun, Lila juga capek harus basa-basi terus sama Mbak Diandra. Lila mau berteman tulus sama Mbak Diandra, Mas, kayak dulu. Kayak waktu Mbak Diandra sama Lila masih di sekolah yang sama. Kita berteman (cukup) baik, Mas, dan Lila seneng.
Lila enggak minta banyak hal dari Mas Panji, Lila cuma kangen Mas Panji. Lila mau tahu kabar Mas Panji. Apa nama Lila yang masih terselip diantara doa-doa yang Mas Panji panjatkan? Atau justru Mbak Diandra yang selalu Mas Panji sebut-sebut? Atau ada 'Mbak' lain di kampus Mas Panji yang membuat Mas Panji betah di sana? Semoga Mas Panji selalu bahagia, dan baik Lila ataupun Mbak Diandra juga selalu bahagia. Aamiin. Lila tunggu balasannya ya, Mas. ^^
14 Februari 2015
Lila
Rabu, 11 Februari 2015
Bicara tentang Rasa
Surat untuk Mas Panji
Senin, 09 Februari 2015
Diam-Diam Jatuh Cinta
Kau Kemana?
"Maaf, aku harus tetap di rumah sampai satu minggu ke depan. Ada persiapan pertunanganku dengan gadis pilihan orang tuaku."
Selasa, 03 Februari 2015
Sajak Rindu
Kamu; Bagian 1
Rabu, 28 Januari 2015
Selamat Pagi
Siapa yang menyangka, di pagi hujan, dingin, sendirian, datang seseorang yang kau sayangi dengan tangan ajaibnya yang membuatkan menu sarapan kesukaanmu masih hangat sehabis dingin hujan? Bisa kau bayangan betapa indahnya pagimu kalau itu terjadi?
Pagi itu terjadi padaku. Hujan, dan kupikir semua akan membosankan. Berlindung di bawah selimut sudah jadi rutinitasku saat hujan semenjak dokter memvonis tubuhku antipati terhadap dingin, dan kalau sampai suhu kamar sangat dingin (bagiku), bisa jadi anak ingusan sepanjang hari. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Bisa aneh seharian bersanding dengan kotak tissue di mana pun kuberada. Dan yang paling parah adalah bolak-balik ke toilet saat tissue-tissue itu sudah tak mampu lagi membantuku dari musibah yang terjadi —skip. Pembatalan pertemuan sudah hampir menemui kata sepakat ketika akhirnya aku menemukan surya menyembul dari balik awan sambil menampakan senyum hangatnya. Dan, finally... meet up with him! Yeay\(^o^)/
Kusambar handuk dengan segera, bergegas menuju kamar mandi. Memilih pakaian yang 'paling layak' kukenakan —kegiatan satu ini memakan waktu yang cukup lama, maklum wanita. Dan menunda sarapan! Mengapa? Sebab ada yang berjanji akan membuatkan aku sarapan, ting!
Ketukan pintu terdengar, mengagetkan, dan berhasil membuat jantungku hampir berlonjak kegirangan. Senyum hangat yang sudah lama tak kulihat, aroma tubuh yang sudah lama tak kucium, dan... look! Dia membawa sekotak bahan dasar yang akan disulap oleh tangan ajaibnya untuk aku sarapan. What a wonderful morning! Pekerjaan wanita yang paling sulit kupelajari —memasak. Tapi tidak mematahkan semangatku untuk jadi koki andalan dalam keluarga kecilku nanti. Ini akan jadi pemandangan paling indah sepanjang hari. Biasanya, aku yang harus sibuk menyiapkan bahan masakan, berpanas-panas ria di dekat wajan dan kompor, siaga mengawasi tingkat kematangan apa yang sedang kumasak, dan memikirkan bagaimana menghidangkannya. Tapi pagi ini berbeda, aku cukup berdiri santai memandangi punggung pria yang kusayang, sibuk dengan rentetan bumbu dapur, minyak panas, dan permainan rasa, demi menciptakan sarapan pagi paling istimewa di dunia. Menu sarapan yang paling kusuka. Meskipun hanya sepiring nasi goreng —yang menurutku terlalu banyak, dan akhirnya dihabiskan berdua, sudah cukup menjadikanku gadis paling istimewa pagi itu.
Sekadar membayangkan pagi itu terjadi saja, tak pernah. Membayangkan pria yang kusayang membuatkan sarapan pagi untukku saja belum pernah. Memandangi wajahnya sampai surya menginjak titik zenit tanpa sedikit pun berpaling saja, itu sudah terlalu mewah. Tapi semua itu terjadi, hari ini. Ditambah dekapan hangat penumpah rindu yang selama ini menggarang minta dituang. Semua tercurah sudah.
Bahagia itu, sederhana. Sesederhana cintanya yang membuatmu (selalu) merasa istimewa. ^^
...
Bekasi, 27 Januari 2015
Minggu, 25 Januari 2015
Catatan Seseorang; Lita
Aku seperti wanita paling baik di dunia. Mengapa? Kisahku hanya tentang seberapa rela aku berbagi pria. Masalahnya sama, hanya setiap pria yang bersamaku, pasti memiliki wanita lain yang membayanginya. Mengapa 'setiap pria'? Iya, karena aku belum menemukan alasan yang lebih maskulin ketika mereka memutuskan untuk berpisah denganku. Selalu ada ekor setelah kuselidiki dengan berbagai adegan macam detektif.
Apa pria-pria yang sudah kutemui berperilaku baik? Sangat. Dengan begitu, mereka menutupi bulu kasar mereka untuk mengelabui aku dalam perburuannya. Apa mereka berhasil? Sukses betul rasanya. Mereka sangat berhasil membuatku merintih-rintih perih lantaran luka cakaran yang mereka sayatkan tepat pada tempat bersarangnya perasaan untuk mereka. Tidakkah setiap pria yang pernah kutemui menjanjikan kesetiaan? Uh! Janji ya janji, kenyataan ya kenyataan. Janji tanpa realisasi? Sudah hatam kuseruput habis sampai ampas yang tertinggal dalam cangkir; pahit.
Tidakkah mereka merasa bersalah? Dari yang paling murah mengumbar maaf, sampai yang paling mahal mengucap maaf —alergi mungkin, sudah kuhatamkan teori tanda-tanda mereka akan mengulangi hal yang sama. Mungkin kalau aku ikut ujian, aku sudah mendapat nilai sempurna. Tidakkah sedikit pun mereka menyesal? Tanyakan saja! Rasanya sudah mual memakan kata sesal yang cita rasanya tak pernah pas pada perilaku setelahnya.
Kapan aku berhenti dengan mereka? Aku sudah menghentikan permainanku dengan mereka sejak mereka sampai pada petak 'parkir bebas'. Aku selalu sampai 'start' lebih dulu. Sekali pun dengan gertakanku akan mencari yang baru, mereka belum juga hengkang dari petak itu, malah semakin nyaman betul rasanya melihat mereka di sana. Tidakkah aku mendambakan kesetiaan seperti kesetiaan yang pernah kuperjuangan pada pria-pria yang pernah kutemui? Sangat. Setidaknya saat aku memberikan sikap terbaikku, dia bisa membalas sebaik yang aku berikan.
Apa sekarang aku sedang dekat dengan seseorang? Iya, ada. Benteng yang tebal sudah kubangun. Kalau-kalau dia menghancurkanku lagi, paling tidak aku masih punya tempat berlindung. Apa dia bersih dari wanita yang mengekor? Hahaha, mungkin dia sempat memangkas ekornya sebelum dia menemuiku agar jejaknya tak terbaca. Begitu buruk prasangkaku terhadapnya. Mengapa? Tidak, tidak. Hanya berhipotesis karena terlalu sering aku menemukan spesies sejenisnya. Apa aku mengharapkan semoganya hanya aku? Sebenarnya, itu keinginan terbesarku. Semoga saja.
Masihkah aku mau jadi wanita yang paling baik di dunia? Jika syaratnya dengan berbagi pria, aku takkan pernah bersedia.
Sebenarnya aku siapa? Lita.
Bekasi, 26 Januari 2015
Sabtu, 24 Januari 2015
Surat Cinta; Sketsa
Aduan
Mah, aku seperti dibuang.
Padahal surya sedang garang.
Hujan terlalu baik karena tidak datang.
Membiarkan semua tetap riang.
Mah, tapi aku kedinginan.
Sekedar senyum tak berkenan.
Apalagi sapa kepada hunian.
Rasanya berat untuk didambakan.
Mah, aku seperti diabaikan.
Ke mana jemari yang mengisi genggaman?
Ke mana, Mah?
Ke mana?
Dalam titik yang paling bisu.
Aku tak menepis tatapan yang beradu.
Tapi aku ingin meraihmu.
Tepat di titik itu: rindu.
Dalam titik yang paling bisu.
Aku mempertanyakan kita yang (tidak) menyatu.
Apakah semogamu (masih) aku?
Rabu, 21 Januari 2015
Presipitasi Berwujud Cairan
Tak bisa segera pulang. Dihadang.
Basah. Seluruhnya tanpa celah.
Sendirian berteduh. Rapuh.
Kaku malu-malu. Tersipu.
Banjir. Tergoda bermain air.
Gelak tawa menggema. Canda.
Tepat di akhir hari. Menemani.
Pulang. Kau antar aku sampai gerbang.
Tiba meski semua kuyup basah. Rumah.
Tertuju satu tujuan. Ke depan.
Bersama. Melangkah menikmati cinta.
Di bawah derasnya bergandengan. Hujan.
Tak mampu lawan rintang. Perang.
Hujan. Sudah tak mampu lagi ungkapkan.
Pasrah pada takdir. Berakhir.
Sedang hatiku berangsur mengeras. Panas.
Beku. Sedang tatap dan laku jadi kaku.
Berhenti berperang. Pulang.
Sebab setia sudah tak lagi ada. Dusta.
Makna. Cinta tak lagi membara.
Berujung pada muara laut. Kalut.
Tapi bagai panas gelisah. Pisah.
Bersamamu. Bagai hujan dengan panas yang tak padu.
Katamu cinta masih tersisa. Percaya.