Sebuah amplop berwarna putih.
Surat cinta dari seorang laki-laki. Aku hafal betul aroma tubuhnya. Hafal betul
tatapannya, hafal betul kerlingan matanya, hafal betul genggaman tangannya. Aku
hafal betul perasaannya. Tepat hari ini, di bawah surya yang menggarang,
laki-laki itu sedikit berlari; menghampiriku. Aku hafal betul seperti apa
perasaannya saat berlari, seperti ingin meraih angan yang selama ini sudah
terbayang. "Terima kasih," nada paling antusias yang bisa kukeluarkan
sembari tangan kananku menerima uluran surat cinta dari laki-laki itu.
Peluhnya bercucuran, tenaganya
terkuras habis seharian. Aku ingin kembali jadi tumpuan, saat lelah sedang
menggerogoti tubuhnya perlahan. Aku ingin kembali jadi penyemangat yang paling
semangat, aku ingin kembali jadi pendukungnya yang paling antusias, yang
mempertahankan senyum kebahagiaan pada wajahnya dengan tubuh yang sudah
berjuang terlalu jauh.
Sampai tiba di hunian, kubuka
amplop pemberiannya tadi. Laki-laki itu terlalu tulus menggurat pensil terlalu
mulus di atas kertas yang awalnya terlalu lurus. Aku hampir lepas kendali,
berloncatan ke sana ke mari. Harus kutempel sketsanya di dinding sebelah mana
lagi? Namun, tujuan laki-laki itu tidak pada titik dinding tempat sketsa itu
kelak menyarang. Tapi pada yang terletak di hunian; cinta.
...
Bekasi, 24 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar