Diracik oleh: Anisa
Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati
Secangkir kopi yang
tak sengaja kutenggak ternyata bukan sekedar kopi. Rasanya tak hanya pahit,
namun masam tertinggal di kerongkongan. Kopi rasa kemarin.
Kopi kemarin terasa
manis karena ditenggak secangkir berdua dengan bibirmu. Namun rasanya cepat
berubah secepat hilangnya pedulimu. Masam kini hilang kamu.
Ya, masam! Tak ada
aroma menyeruak hangat. Sebab yang tersaji hanya secangkir kopi rasa kemarin. Tanpa
gula, dan tanpa kamu sebagai pelengkap malam.
Asam di lambungku
kini mulai naik. Ingin kumuntahkan kopi masam di tengah kejahanaman malam. Lalu
kurauk muntahku dan kupoleskan padamu yang hanya diam.
Apa kau tak ingat
cangkir terakhir yang kubuatkan? Takkan masam jika tak kau biarkan, tak kau
abaikan.
Butiran serbuk kopi
ketika diseduh, memberikan aroma yang khas dan aku ingin seperti butiran
robusta. Apakah kau mengetahuinya?
Juga kafein yang
menggoda pada malam, memaksa tak boleh terpejam. Sebab masih tersisa setengah
cangkir kopi yang harus kau tenggak tapi tak ingin kau buang.
Kopi memang pahit,
tapi bergitu nikmat jika diberi gula dan tentunya akan digemari. Begitupun kau
selalu kugemari walau kutahu dalam kenyataan terasa (pahit).
Aroma kopi
menyeruak ditengah gaduh dalam ruang menyelinap rongga hidung sampai tertengguk
kerongkong, hangat dalam badan. Ya, secangkir kopi pada malam jahanam.
Malam itu kita
berdua dengan secangkir kopi, pelukmu semakin erat tatkala malam semakin penat.
Bibirmu menyentuh mulut cangkir dengan lembut, padahal hati menciut.
Sejujurnya aku
khawatir, lakumu yang setiap saat mengambang di pelupuk mata esok hilang tanpa
bilang.
Kopinya sengaja tak
sehari habis, siapa tahu masih sama manis karena bibirmu yang aduhai manis. Tapi
sungguh tragis, manisnya jadi masam seiring kau berubah jadi yang maha kejam.
Kendati kini
cangkir itu tak lagi milik berdua. Kau pergi menyisakan sidik bibirmu di
pinggir mulut cangkirnya. Bukan main masamnya, aku jadi hilang selera.
Bila boleh
pengandaianku, kuandaikan senyatanya inginku berhentikan waktu saat di mana aku
menggigil, lalu kau peluk ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan.
Dan kendati
cangkirku tak lagi dipenuhi kopi racikanmu, kuandaikan malam itu bahumu sejajar
membersamaiku. Kubayangkan wajahmu dalam cangkir kopiku.
Kopi kemarin yang
aku sajikan sudah pasti masam rasanya. Tak enak. Sudah cukup kau berandai, tak
baik pengandaianmu. Hanya tergadai!
Aku ingin secangkir
kopi terakhir malam itu. Ya, kopi robusta yang kau racik nikmat tiada
tandingan. Oh sungguh, bualan kopi terus saja memanjakanku pada malam.
Secangkir kopi
perempuan jahanam pada malam jahanam untuk laki-laki jahanam tuntas kuseruput
habis.
30 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar