Postingan Populer

Jumat, 28 November 2014

Topi Hitam

Oleh: Arini Hidayah

Kacamata. 
Topi hitam.
Kemeja atau koko putih. 
Topi hitam.
Jeans atau celana bahan hitam. 
Topi hitam.
Sepatu. 
Topi hitam.
Jam tangan. 
Topi hitam.
Jaket abu-abu.
Topi hitam. 
Laptop.
Topi hitam.
Ponsel.
Topi hitam.
Al-Quran, al-matsurat, MP3 ayat suci Al-Quran. 
Topi hitam.
Power bank.
Topi hitam. 
Motor hitam.
Topi hitam.
Ransel hitam. 
Topi hitam.
Tidak suka keju.
Topi hitam.
...

28 November 2014

Rabu, 26 November 2014

Puisi Linguistik

Dibahasakan oleh: Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, Arini Hidayah, dan Anisa Rahayu

Seperti suprasegmental;
sikapmu memiliki tekanan, intonasi, dan aksen yang berbeda dari yang lain;
unik.
Aku dan Kau adalah vokal,
mari menyatu menjadi diftong;
maka lahir suara-suara pembaharu.

Jujur atau dusta, seperti arkhifonem.
Kehilangan kontras antara keduanya.
Terdengar sama.
Seperti morfem yang mengalami segmentasi menjadi silabel;
terpisah.
Menghadapi sikapmu seperti awal mempelajari transkripsi;
rumit.
Setelahnya, terbiasa.
Alofon; satu fonem memiliki variasi bunyi.
Sama halnya satu kisah,
beragam variasi ceritanya.
Tergantung siapa yang bertutur kata.

Hidup hanyalah hidup,
tak dengan mudah untuk kita menciptakan bahagia.
Sukar.
Layaknya konsonan dalam sebuah morfem tanpa vokal,
sukar kita diciptakan untuk menjadi satu morfem satu kata,
satu kalimat hingga menjadi cerita.
Konsonan dan vokal adalah cinta,
cinta Arjuna dan Srikandi.
Jangan posisikan aku sebagai arkhifonem,
yang membuat cinta Arjuna menjadi luntur,
bahkan hilang kontrasnya.
Aku hanya ingin menjadi tanda glotal,
walau kecil tapi aku ada.


Ciputat, 18 Juni 2014

Sayang...

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Aku tersisih diantara diksi,
terperangkap pada sesal karena tak turut berdiskusi.
Dan kini aku tak diajak untuk turut memadukan diksiku diantara puisi.
Rasanya sesal menyeruak seketika kudengar larikku melayang dihempas gerimis,
terkatup pula kalimat asmara yang sempat kutitipkan mesti tak lagi manis.

Bukan maksudku untuk mangkir, Sayang
larik-larik puisimu telah lama kukenang,
menanti cintanya mengawang,
namun aku terkatung tanggung yang menyarang.

Terima kasih.
Kamu yang memunguti diksiku setelah terbuang.
Lalu dibawa terbang melayang.
Dan kalian ini aku kepayang,
terbayang kamu yang tersayang.

Sayang aku tak lihat apa yang tayang.
Aku terpaksa hilang demi dia yang kusayang.
Bila aku membangkang,
aku pasti dibuang.
Kalian yang kusayang teruslah berjuang.
Benar sayang akan terbuang,
jika membangkang yang tersayang.
Sungguh beribu sayang,
kau tak paham, Sayang.
Engkau sayang pemeran tersayang.

Sayang…
berkali-kali kudendangkan kau di telinga mereka.
Berkali-kali kugambarkan kau di mata mereka.
Sampai kini,
kau kekal jadi pemeran utama.

Aku tak pandai memuji,
tapi aku pandai menyimpul tali.
Kau tahu yang ada di hati?
Sungguh kau seorang diri.

Lekas aku menarik diri,
sebab sadar kau tak menyadari.
Sesuatu yang abstrak di dalam hati,
kau tuding tak berarti.
Aku di sini,
kau pergi.
Aku pergi,
kau tak menanti.

Kini apalah dayaku,
menanti seseorang yang tak pernah mengharap kehadiranku.
Sebuah kisah klasik yang menggambarkan kesetiaan yang tak berarti.

Ada masanya,
yang terpuja jadi tiada.
Yang tadinya tiada,
kini begitu dipuja.
Bait itu pernah ada untuk yang terpuja.
Namun kala ia tiada,
biar bait yang simpan cerita.
Biar bahasa menyimpan cerita tentang kita,
karena saat rasa kembali tak dapat dijaga,
kelak kulantangkan kecewa.
Bukankah itu tanda cinta?

Jika cinta dikoar rasanya,
dia bukan rasa yang terdalam.
Cukup didoakan agar terucap dari kelembutan.
Kali ini saja…
cinta mengucap selamat pagi,
untuk yang terkasih.


Ciputat, 25 November 2014

Cinta Tulang Ikan


Dihidangkan oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Cinta tulang ikan bermula dari duri transparan
yang kemudian berkomplikasi antarlain organ
Apa kau tahu?
Jika tulang ikan bersemayam di tenggorokan namanya ketulangan,
tapi jika cinta bersemayam di dalam hati namanya kecintaan

Berbicara tentang cinta tulang ikan,
apa yang harus aku maknai?
Kesederhanaan tentang ungkapan cinta namun rumit merasakannya?
Tepat
Tentang sederhana dan kerumitan yang terjadi akibat cinta tulang ikan

Cinta tulang ikan,
rasa sesederhana bunyinya, tapi perih serumit rasanya
Ah memang, cinta sederhana diungkapkan
namun tidak untuk dirasakan
Seperti tulang ikan dipiring saji
Tawar
Namun harus dihabiskan
Melelahkan

Tersedak tulang ikan mungkin sama sakitnya
saat menahan cinta yang sudah sampai ditenggorokan
hendak diucap
Sama halnya ketika sudah menenggak air banyak-banyak,
tapi tak juga hilang
Malah meradang!
Butuh nasi agar tertelan dalam-dalam

Berbicara cinta tulang ikan
Biarlah, lebih baik saya tersenggak saja oleh tulang ikan itu,
lalu tak sadarkan diri,
hingga tak mengenal lagi apa itu cinta

Cinta tulang ikan
penyebab bait-bait sajak merinai
berkisah-kasih dalam-dalam
mengenai cinta dan perasaan
Jangan berhenti bersajak anak muda
karena tulang ikan masih belum habis di piring saji
serpihannya perlu diperhatikan
untuk menemukan makna cinta.


11 Oktober 2014

Minggu, 16 November 2014

Beberapa Detik

Beberapa waktu terakhir aku jadi sering mengingat kebersamaan kita mengamati rel-rel yang tergelar di sisi peron. Aku kembali terduduk pada kursi yang dirakit dari besi, di las, sampai terbentuk layak dan begitu mengkilat sebagai tempat duduk. Kosong, di sebelahku. Dahulu, ada kamu.
Aku kembali mengingat-ingat, bahu yang agak tebal terbungkus jaket hangat, kubaringkan kepalaku di sana. Mengamati rel-rel besi yang ditetesi air hujan waktu itu. Gerimis, hujan, lalu deras. Aroma tanahnya begitu mendamaikan kita.
Aku kembali merasakan, lengan yang menyeberangi pundakku, merangkulnya, membagi kehangatan yang sejak lama dirasakannya sendiri. Terpejam mataku. Semilir aroma tubuhmu jadi begitu hatam kuhapal. Kunikmati hangatnya.
Peron-peron semakin sepi kaki-kaki orang lalu lalang. Kita masih terduduk rapi dengan kepalaku di pundakmu dan lenganmu di pundakku. Senja datang. Hujan masih membasahi rel-rel besi itu. Percikannya membasahi peron, hampir basah kursi yang kita duduki.
Sedetik, semenit, sejam, berjam-jam sampai gelap. Aku merasa semakin tenggelam dalam dekap hangat lenganmu saat hujan.
"Aku ingin habiskan sisa waktuku denganmu, Ann." Pintanya.
Kupejamkan mataku, memohon pada Tuhan agar berbaik hati mengabulkan pintanya. Sesaat setelah suaranya kabur, kecupan dari bibirnya mendarat di kepalaku. Beberapa detik. Berarti.

St. Tanah Abang, 2 Oktober 2014

"Kita Mau Kemana?"

Petugas stasiun mengumumkan kereta akan segera datang. "Tujuan Jakarta Kota", katanya. Penumpang berlarian, bergegas berebut kursi agar bisa duduk sepanjang perjalanan. Dia masih di depan loket, menantiku seharusnya. Aku pun bergegas, mengejarnya. Dia pasti terlalu lama menungguku sampai terlihat rona kecemasan di raut peranakannya. "Maaf", dengan penuh sesal kumohonkan. Dia hanya tersenyum simpul. Peluh bercucuran di dahinya, mungkin begitu mengkhawatirkanku atau mungkin khawatir sebelum aku datang, kereta berangkat terlebih dahulu. 
Kemeja biru muda, kemeja kesukaannya. Tergulung sampai siku, seperti kali terakhir kita bertemu. Jaket abu-abu kehitaman yang biasa dikenakan, kini hanya tergantung di lengan kirinya. Mungkin terlalu gerah menunggu. Ponsel di tangan kanannya, sempat kulirik, dia sudah menekan nomor ponselku, hanya tinggal menekan tombol panggil kalau-kalau aku sampai lebih lama lagi. Kacamata dengan bingkai hitam, tak pernah bertengger di tempat selain hidungnya. 
"Kita mau kemana?", tanyaku. 
"Kau cukup bersedia kugandeng, dan jangan berani pindah dari sisiku. Sedetikpun!", pintanya. 
Dia langsung meraih jemariku, menggenggamnya erat. Takut terlepas katanya. Kereta keempat hari ini, gerbong ketiga. Bahuku terdorong orang yang hendak turun, "Aduh!". "Kau tak apa? Apa yang sakit?", dengan jemarinya yang tetap menggenggam erat jemariku. "Tak apa, jangan khawatir." 
Perjalanan kita dimulai, satu stasiun, dua stasiun, tiga stasiun. Kereta itu sesak, penumpang semakin bertambah seiring bertambahnya stasiun yang kita lewati. Kepalaku pusing, perutku mulai mual. Aku lemas. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit setelahnya aku tak sadar. Hal terakhir yang kuingat hanya genggaman jemarinya yang mengerat. 
*** 

Dalam kereta menuju st. Jakarta Kota, 15 November 2014