Postingan Populer

Senin, 01 Februari 2016

Titah

Sepasang
Yang beriringan
Tak peduli jatuh
Asal bangkit lagi

Ada dan tiadanya
Penopang
Dia tahu
Dia harus melangkah

Tapi malaikat itu tahu
Hadirnya tak boleh sia-sia
Dia tidak bekerja cuma-cuma
Digenggamnya erat-erat
Dipandangnya lekat-lekat
Dibimbingnya dekat-dekat

Sepasang itu
Kini mulai berani
Berjalan
Bahkan berlari

Tapi malaikat itu tahu
Hadirnya tidak sebatas sepasang itu mampu berlari kencang
Malaikat itu tahu
Hadirnya berarti sampai sepasang itu sesungguhnya berpulang

11 Januari 2016

Kamis, 24 Desember 2015

Akan

Gegap gempita dalam dada
Bergema megah bersuara
Esok atau lusa
Diucap meski tanpa kata

Bekasi, 24 Desember 2015

Kamis, 12 November 2015

Ayah

Oleh: #CintaTulangIkan feat. Danti Yaniar dan Sukma Chintya Cahyarani

Kuncupku mekar seiring kerutmu
Merekah aku seiring engkau melayu
Tegap melangkah, melaju
Dalam balutan kasih padu
Terlungkup aku mengecup rindu

Duhai raja dalam megah istanaku
Cinta mana yang kasihnya mampu mengalahkanmu?
Datang! Temui aku!
Kuhanya bisa berlari, tak tega untuk menjawab
Relakan!

Bantu aku!
Ikut terisak aku akan teriakan kelamnya
Balut aku! Selimuti aku!
Kasihmu, buaianmu, tempat bersejarah hidupku berkenala

Bila nanti aku kembali pulang
Izinkan aku untuk dapat kembali ke pangkuan
Mengelus punggungmu perlahan
Bayangkan permainan kuda-kudaan dengan punggungmu
Dengan tawamu, dengan kecupmu

Ayah…
Izinkan diri mengutarakan rindu
Melalui tetesan perih mata di balik bahumu
Maaf, lidah selalu terkelu saat ingin berucap rindu
Sungguh, itu semua sebab malu


Ciputat, 18 Mei 2015

Minggu, 26 Juli 2015

Kelana

Kamu tahu rasanya menyimpan rindu berwaktu-waktu? Tapi temu tak berhasil meredamnya, justru membengkakkannya. Iya, harusnya temu jadi media bicara. Tapi angin mengabarkan sesuatu yang sulit diindera. Sesak. Tapi aku yakin, aku sudah di posisi yang benar; mencintaimu dengan segenap rindu yang kutimbun sekian waktu. Perihal pengkhianatan dan lain sebagainya, itu urusanmu. Bukan urusanku.
~
Sore ini, tepat bulan ke-17, hari ke-519, jam ke-12.456, menit ke-747.360, dan detik ke-44.841.600 seharusnya kita bertemu, membayar semua tagihan rindu, dan mencuci semua noda prasangka. Tapi kau dituntut jam kerja, waktu istirahat, dan forum temu kangen dengan teman-teman lamamu. Kalau kutanya tentang kapan kita bertemu? Kau selalu mengelak, mengandalkan kesibukanmu sebagai alasan terkuat.
Ini sudah dua bulan lamanya setelah tatap mata kita yang sebelumnya. Tanpa pertemuan lagi dan tanpa dering ponsel di pagi hari. Sesekali pesanmu masuk sekadar menuding pernyataan bahwa aku merindukanmu, lalu kau jadikan bahan tertawaan sebelum akhirnya kau mengakui juga merindukanku –entah tulus atau tidak. Tapi aku tetap menantikan saat itu. Entah bagaimana rasanya, tapi saat-saat itu selalu kumanfaatkan untuk tetap bisa berkomunikasi denganmu; sesulit itu. Terakhir kali kumeminta waktu, kau hanya sempat bilang, “Aku lagi sibuk kerja, mungkin enggak ada waktu buat ketemu kamu. Maaf ya.” Aku bisa apa? Iya, namanya juga wanita. Aku habiskan waktuku menyibukkan diri. Mulai dari menulis, membaca, memotret, berbelanja, mencicipi makanan ini itu dengan teman-teman dekat, sekadar menghadiri ajang reuni –ajang curhat dengan teman lama, atau chatting dengan teman-teman dekat yang terbatas ruang dan waktu hingga larut malam. Mengenaskan! Selalu, sebelum tidur atau setelah bangun tidur, berkali-kali memeriksa pemberitahuan dalam ponselku, kalau-kalau tertera namamu aku bisa langsung membalasnya dan mendapatimu dengan waktu luang untuk sekadar berbalas pesan singkat denganku.
Tapi berwaktu-waktu lamanya, firasatmu tidak juga berhasil memprovokasikan hasratmu untuk melepas tuntas segala rindu, membebaskannya tanpa batas, meluruhkannya hingga habis sudah bara rindu setelah sekian waktu kutimbun hingga tertumpuk debu. Kau tak juga meminta waktu.
~
“Lan, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?”
“Iya, Win. Aku enggak akan marah. Coba cerita,” dengan seulas senyum.
“Rabu lalu, Kris, Lan. Kris…”
“Kenapa Krisna, Win?” kugoncangkan pundak Windi.
“Krisna ingin Sitha jadi pacarnya,” suara Windi memelan, diiringi nada bersalah yang dalam.
“Mungkin itu yang terbaik untuknya, Win.”
“Pasrah betul! Dia sudah menjanjikanmu apa saja, Lan?”
“Krisna bilang, dia ingin bersamaku untuk menjalani masa depannya, Win.”
“Ah, pria! Krisna sudah berapa lama tidak menghubungimu?” Windi penasaran.
“Dua bulan.”
...
26 Juli 2015

Minggu, 05 Juli 2015

Pergi

Ada yang sedang tidak ingin saya tulis. Saya sudah hatam semua kosakata yang membahasakannya, tapi tidak ada yang mampu mewakili percikan rasa yang muncul untuknya. Sudah lama betul rasanya sejak sepeninggalnya, saya tidak lagi melukisnya lewat kata-kata. Akibatnya kalau saya berani melukisnya lagi, dia akan muncul dalam bayang-bayang mengelilingi bola kepala saya berputar-putar dan nanti akhirnya saya hanya akan dibuatnya pusing lantaran terus memikirkannya. Dia sudah tenang di sana, menari dengan para bidadari khayangan memandangi senyuman bidadari itu sambil memegang kedua tangannya menggandengnya berjalan-jalan berdua di taman surga. Sayangnya, dia pergi membawa separuh hati saya. Di tahannya hati saya dalam penjara yang dia buat sendiri yang saya tidak mampu menembusnya hanya untuk mengambil separuh hati saya yang tertinggal di sana.

Hari itu, saya menangis sejadi-jadinya membayangkan tidak ada lagi dia sebagai sandaran saya, penuntun saya, pemandangan mata saya, satu-satunya suara yang saya dengar, dan ladang hatinya di mana saya bisa bebas berlarian ke sana-sini tanpa pernah merasa lelah. Dia membeku di balik helai kain yang menutupi leher hingga kakinya secara sempurna, sedikit kain tembus pandang yang menutupi puncak kepalanya sampai dada. Dia pergi menyisakan kenangan yang nyatanya sampai lima tahun kepergiannya belum bisa saya lupakan sedetik pun. Saya masih ingat satu hari sebelum dia pergi, dia masih menggenggam tangan saya dan melarang saya pergi dari sisinya saat tubuhnya sudah mulai lemas. Satu minggu sebelum dia pergi, dia masih meminta saya membuatkan semangkuk bubur untuk sarapannya saat tenggorokannya sudah alergi terhadap makanan yang teksturnya kasar. Satu bulan sebelum dia pergi, dia masih suka mengajak saya berjalan-jalan, mengitari gedung yang aromanya seperti kamar bedah. Satu tahun sebelum dia pergi, dia masih mengajak saya makan di rumah makan kesukaannya dan membawakan saya setangkai mawar merah. Satu windu sebelum dia pergi, dia mencoret-coret seragam putih abu-abu saya dengan belasan tanda tangannya yang ukurannya bervariasi. Satu dasawarsa sebelum dia pergi, dia menggambar sketsa rumah yang cukup asri dan dia bilang, "Nanti kalau kita menikah, aku akan mendesain rumah kita agar seasri ini, supaya kamu bisa berkebun di sekelilingnya sambil melihat anak-anak kita berlarian dengan riangnya, dan aku akan mengabadikan semua kejadian itu dalam lensa kamera." Dengan yakin saya aamiin-kan angan-angannya agar kelak menjadi nyata.

Lantaran hari di mana saya akan menjadi nyonya atas namanya sudah ditentukan, dia mulai kehilangan kesehatannya. Rasanya saya ingin mempercepat apa yang bisa saya lakukan di waktunya yang sempit untuk mewujudkan semua angan-angannya. Tapi nihil, semua terencana bahkan di saat dia belum berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh orang sehat. Saya menyayangkan dua hal, khayalannya yang belum dapat saya bantu wujudkan dan perasaan saya padanya yang tulus dan belum berkurang sejak saya kenal dia bahkan sampai saat dia pergi malah mengalami pertambahan.
...

Subuh, 6 Juli 2015

Jumat, 15 Mei 2015

Penerimamu

Ada hadiah yang kudapat hari ini. Sesuatu yang kuperjuangkan diam-diam, juga sedang memperjuangkan hal lain pun secara diam-diam. Aku telah kembali –pikirku. Aku sudah memulai segalanya (lagi), yang secara tidak langsung aku sedang bermain api lagi. Api yang kumainkan membakar diriku sendiri. Aku menunda segala yang datang padaku, menghalau mereka agar jarak mereka padaku masih bisa kuawasi kalau-kalau mereka terlalu lihai mengambil langkah mendekati. Tapi semua sia-sia. Sama seperti pikirmu yang menganggap apa yang kau lakukan sia-sia.
Ada rasa penasaran setiap hasrat menuntun jemari membuka pesan masuk. Tertera namamu. Selanjutnya, ada rasa tenang kau masih berkenan membalas segala pesan yang diam-diam kukirimkan –tapi kau juga diam-diam mengirimkan pesan kepada penerima lain. Kau menyembunyikan identitas penerima itu dariku agar aku tidak berusaha mencari tahu siapa dia. Tidak. Aku pun tidak berminat mencari tahunya. Rasa sesalku sudah cukup menyesakkan sebab mencari tahu penerima pesan diam-diammu sebelum penerima yang semakin intensif menerima pesan diam-diammu dewasa ini.
Ada rasa sesak yang tertancap sukar kucabut. Hati habis memaki, manusia macam apa yang menyatakan hatinya untukku tapi raganya milik orang lain? Tidak adakah manusia yang hati dan raganya menyatakan milikku? Memilihku?
Aku bercermin akanmu, waktu yang tepat yang kutunggu. Kau menantang ketegasan atas pilihanku. Kulakukan! Aku selesaikan urusanku dulu dengannya, baru akan kumulai lagi denganmu. Tapi naas… aku terlambat.
Nama penerima diam-diammu kini terpampang jelas di depan mata. Menunjukkan ada strategi yang kau lakukan diam-diam selagi kau memperjuangkanku –katamu. Kau menganggap memperjuangkanku sia-sia, tapi aku menganggap menunggumu kembali memintaku juga sia-sia. Pergerakanku mundur darinya untukmu, juga jadi sia-sia. Penolakanku pada yang mendekat pun, juga jadi sia-sia. Kesendirianku, segala usaha membangun dinding dipinggiran hatimu agar senantiasa aku yang mengisinya, juga jadi sia-sia.
Apa lagi yang bisa kukatakan selain “selamat tinggal”? Serta segala cita agar kau senantiasa bahagia?

15 Mei 2015

Selasa, 05 Mei 2015

KISAH PENGECUT

Oleh: ASA

Sediakah secangkir kopi hangat untuk kutenggak sore ini? Aku sedang ingin di dekap alam, diselimuti hangat malam. Bermesra dengan gelap, bercinta hingga kalap. Dekap aku. Angkat aku kembali. Siapa yang sangka, sehati-hatinya aku melangkah, lubang yang sama masih menganga?
Aku serasa manusia terhina, tak sanggup untuk melangkah sendiri; meninggalkan sisa jejakmu. Bahkan di sana bayangmu pun tak lagi terlihat sejak jauh-jauh hari.
Kurang hati-hati bagaimana? Aku sampai berkali-kali makan hati, tapi aku sepertinya malah jadi bahan tertawaan setulus hati. Bukan maksudku untuk terus mengukir kisah yang tak lagi kau tahu bagaimana alurnya, padahal senyatanya kau pemerannya. Namun hati, mata, juga jemariku tak dapat kuhentikan dengan paksa, karena mereka ingin tahu bagaimana akhirnya.
Pada nyatanya, aku tidak kau baca. Kau sulit kuterka. Pada nyatanya, aku tidak lagi di pelupuk mata. Kau sulit teraba; hilang.
Kisahku kini bukan lagi bagianmu, bukan lagi sekuel yang selalu kau nanti untuk kubacakan di ujung malam. Namun kisahku masih kurajut; untukmu. Penaku masih menyulam kisahnya. Tapi sepertinya kau sudah tidak tertarik menjadi pemeran utamanya. Kala kutanya peran apa yang kau inginkan, kau malah meninggalkan.
Pernah sekali aku melukismu menjadi bagian tak terbayangkan, tak ditunggu, tak ada bahkan. Namun kisahku tak hidup. Mati sama sekali. Tapi kini aku mulai meniti. Sedikit demi sedikit namamu mulai kusiasati. Saat aku sudah mantap berdiri. Siapa sangka bahwa akhirnya kau melarikan diri?
Pengecut!
Ah! Sesekali ingin kuserapahi peranmu yang tak dapat kumengerti. Bahkan ingin kulucuti adamu dalam hinggap tak berarti. Pengecut mana yang berani menyambangi hunian yang telah ia lempari? Bawa ke sini! Bukan lagi pengecut kalau ia berani serahkan diri. Tapi sampai detik kuratapi kisah ini, ia tak pernah menganggap adaku sedikit pun berarti.
Awalnya, dikata tak ingin aku pergi, karena aku adalah harap yang selamanya menjadi doa si pengecut pada Tuhan. Namun harapnya datang tak pada waktunya, “Aku belum siap menerima kabulan doaku”. Si pengecut melenggang. Hahaha. Harus seperti apa lagi kutertawakan segala usaha, cinta, dan apapun yang kukorbankan untuk mempertahankan segalanya? Tapi pengecut tak kehabisan akal begitu saja. Ia sudah menyiapkan taktik, strategi, trik –apapun kau menyebutnya, untuk menghapus jejaknya. Langkahku tak sekuat kelicikannya. Untuk berbalik saja tempurung lututku kaku seperti kurang pelumas. Jahatnya; aku dibuatnya jatuh hati lalu ditinggalkannya sampai hati. Tak pernah kutunggu si pengecut untuk mengucap maaf, karena yang kutahu tawanya terbahak bangga karena berhasil menipu wanita.
Miris rasanya. Tapi mengaispun percuma. Tokoh sentral paling egois berhasil tercipta dalam kisah kita. Tapi siapa sangka kalau di sanalah letak puncak alurnya? Geram hati terasa, pikiranku dirayapi bayangnya hingga keram-keram. Pernah kucoba tuk robek waktu yang telah lalu, namun kisah telah tercipta. Kisah si pengecut.


3 Mei 2015