Postingan Populer

Sabtu, 14 Februari 2015

Surat untuk Mas Panji (2)

Hai, Mas Panji. Apa kabar? Ini surat kesekian dari Lila yang belum Mas Panji balas. Ingat ya, Mas Panji masih punya hutang membalas puluhan surat yang Lila kirimkan. Bagaimana kuliahnya? Lila dengar, kemarin BEM jurusan Mas Panji baru mengadakan event gitu ya? Sukses dong pastinya? Lila mau cerita, Mas. Kemarin, seharian Lila bersama Mbak Diandra, membicarakan apa saja yang bisa kita bicarakan, untuk kali ini, tanpa topik tentang Mas Panji.

Awalnya, kemarin itu hujan. Lila baru pulang habis latihan nari, Mas. Terus Lila neduh dekat pertokoan di depan perumahan Lila. Tadinya Lila mau hujan-hujanan saja terus sampai rumah, tapi pasti nanti ibu marah sama Lila. Jadi, Lila putuskan berteduh dulu. Sekitar lima menit Lila di tempat itu, ada yang datang berteduh juga, Mas. Ternyata Mbak Diandra. Lila tegur saja Mbak Diandra. Awalnya biasa, basa-basi saling tanya kabar, kegiatan, kabar keluarganya, ya pokoknya basa-basi biasa deh, Mas. Hujan makin deras, di dekat tempat Lila sama Mbak Diandra berteduh, ada kedai sosis bakar, kedai yang Lila ceritakan kemarin, Mas. Mbak Diandra ngajak Lila ke kedai itu, sambil nunggu hujan katanya. Ya sudah, Lila mau saja. Kita duduk di dekat jendela, Mas. Biar bisa sambil lihat hujan.

Awal pembicaraan, Mbak Diandra yang mulai. Mbak Diandra bilang kalau Mbak Diandra sudah tak ingin berlarut-larut tenggelam dalam kesedihannya, Mas. Lila jelas mendukung, demi kebahagiaan Mbak Diandra juga kan, Mas? Awalnya Lila sama sekali enggak tahu kalau pembicaraan Mbak Diandra itu dimaksudkan membicarakan Mas Panji, sebab Mbak Diandra hanya sekilas membahas itu. Lila juga enggan berlarut-larut membahas Mas Panji dengan Mbak Diandra. Lila takut cemburu, Mas. Takut. Lila tahu Mbak Diandra orang baik, cantik, dan taat beribadah, Lila enggak mau nyakitin hati Mbak Diandra, Mas. Jadi, Lila berusaha tidak menyinggung pembicaraan itu untuk mengarah membicarakan Mas Panji. Lila merasa itu sudah hal paling baik yang Lila lakukan, Mas.

Mas, belakangan Lila merasa hampir menyerah. Lila hampir tidak kuat setiap melihat raut wajah Mbak Diandra. Lila merasa bersalah, Lila merasa Mas Panji dan Mbak Diandra berhak bahagia tanpa Lila.

Lila dan Mbak Diandra membicarakan banyak hal, Mas. Bahkan sampai membicarakan tentang intensitas hujan yang belakangan menyebabkan banjir di mana-mana. Hahaha. Benar-benar hari yang menyenangkan, Mas. Seperti baru bertemu sahabat lama, Mbak Diandra ramah sekali, Mas. Dia sangat bersahabat. Mbak Diandra juga terbuka, dia juga menceritakan tentang keluarganya, kakak-kakaknya, dan teman-temannya. Mbak Diandra enggak sungkan ngobrol banyak sama Lila, Mas. Pembicaraan hangat di tengah hujan.

Mas Panji, kalau Lila berteman baik dengan Mbak Diandra, apa Mas Panji keberatan? Semoga enggak ya, Mas. Lila enggak mau punya musuh. Lila mau hidup rukun dengan siapa pun, Lila juga capek harus basa-basi terus sama Mbak Diandra. Lila mau berteman tulus sama Mbak Diandra, Mas, kayak dulu. Kayak waktu Mbak Diandra sama Lila masih di sekolah yang sama. Kita berteman (cukup) baik, Mas, dan Lila seneng.

Lila enggak minta banyak hal dari Mas Panji, Lila cuma kangen Mas Panji. Lila mau tahu kabar Mas Panji. Apa nama Lila yang masih terselip diantara doa-doa yang Mas Panji panjatkan? Atau justru Mbak Diandra yang selalu Mas Panji sebut-sebut? Atau ada 'Mbak' lain di kampus Mas Panji yang membuat Mas Panji betah di sana? Semoga Mas Panji selalu bahagia, dan baik Lila ataupun Mbak Diandra juga selalu bahagia. Aamiin. Lila tunggu balasannya ya, Mas. ^^

14 Februari 2015

Lila

Rabu, 11 Februari 2015

Bicara tentang Rasa

 Rasa ini memang tak terungkap, tapi mengalir dalam doa.
Ketika kau tak juga melihatku, pikiran berkata “menyerah”, tapi hati tak sependapat, ia mengatakan “berjuang”.
Aku sangat paham kau masih belum bisa berpaling darinya, aku masih sering mendengar dia bercerita tentangmu.
Ketika kau sibuk menggodanya, aku menyibukkan diri agar tak memperhatikanmu.
Padaku kau titipkan salam untuknya, pada malaikat aku titipkan salam untukmu.
Dia selalu dalam pandanganmu, kau selalu dalam pandanganku.
Aku memang munafik, mendukungmu dengannya, padahal remuk hati rasanya.
Semampuku sembunyikan segalanya, semampuku memperjuangkan segalanya, semampuku menantimu, meski akhirnya hatimu masih tertaut padanya.
Dia sibuk bercerita tentangmu, aku sibuk menata puing-puing hatiku.
Dia pernah bercerita membencimu, aku selalu mengagumimu meski hanya dalam kalbu.
Dia pernah menjadikanmu hanya selentingan tanda dalam kisah cintanya, aku selalu menjadikanmu yang utama.
Padaku dia ungkapkan keluh-kesahnya atasmu, pada Tuhan aku ungkapkan semua rasa sesakku.
Padaku dimintainya saran untuk menilaimu, pada Tuhan kuminta tetapkan hatimu untukku.
Dia mengharapkanmu? Akupun, jauh sebelum dia menyadari bahwa kau bermakna.

Bekasi, 31 Januari 2014


Surat untuk Mas Panji

Apa kabar, Mas? Semoga baik-baik saja. Bagaimana kuliahnya? Kalau Lila hitung dari kapan Mas Panji masuk kuliah, seharusnya sebentar lagi selesai. Lila nunggu surat dari Mas Panji, tapi enggak pernah sampai. Mas Panji pasti sibuk, makanya enggak pernah sempat kirim surat buat Lila, kan? Kabar Lila baik kok, Mas. Nilai Lila semester ini juga naik, Lila seneng banget. Mas Panji juga seneng kan dapat kabar baik dari Lila? Lila sehat terus, Mas. Kata ibu, Lila gemukan. Mas Panji jangan ketawain ya kalau nanti kita ketemu di Jakarta. Mas Panji kapan pulang dari Bandung? Ibu nanyain Mas Panji terus kapan pulangnya.
Mas, di deket rumah, ada kedai sosis bakar, baru buka minggu lalu. Nanti kalau Mas Panji pulang, kita ke sana ya? Mas Panji mau, kan? Oh iya, di depan perumahan juga ada kedai es krim. Kalau kedai es krim udah lama bukanya, Mas. Tapi kan Mas Panji udah enggak pulang dua tahun ini, jadi pasti Mas Panji belum pernah ke sana, kan? Nanti kalau Mas Panji pulang, selain ke kedai sosis bakar, kedai es krim, Lila juga mau makan di tempat kita makan nasi bakar waktu itu, Mas. Tapi waktu itu Mas Panji pesannya nasi goreng. Lila juga mau jalan-jalan naik kereta, ke Kota, atau ke mana saja, asal sama Mas Panji, dan ibu enggak boleh ikut! Hihihi, jangan bilang ibu ya, Mas.
Mas, Lila mau cepet-cepet lulus. Kalau Mas Panji mau menetap di Bandung, Lila jadi bisa nyusul Mas Panji ke sana kalau Lila udah lulus. Tapi Mas Panji harus ke rumah Lila dulu, minta izin sama ibu, yang artinya… Mas Panji mau serius sama Lila. Hehehe. Oh iya, Mas. Dapat salam dari Mbak Diandra. Kemarin Lila ketemu di stasiun. Dia masih nanyain Mas Panji. Lila jawab semua pertanyaan Mbak Diandra seadanya. Katanya Mbak Diandra udah mutusin Mas Panji, tapi kayaknya masih sayang ya sama Mas Panji? Buktinya masih nanyain Mas Panji kemarin.
Mas, Lila dapat hadiah ulang tahun, dari sahabat Lila, Amira. Amira kasih Lila sandal karakter kesukaan Lila, seneng deh. Hehe. Karakter sandalnya sama kayak boneka yang Mas Panji kasih waktu ulang tahun Lila yang ke-17. Masih inget kan, Mas? Hari ini ibu lagi baik banget, dari kemarin Lila mau makan bakso, tapi hujan. Hari ini ibu beliin Lila bakso. Hahaha.
Mas, Mas Panji udah mulai masuk kuliah ya? Bagaimana liburan kemarin, Mas? Andai Mas Panji bisa pulang, Lila masakin Mas Panji nasi goreng. Lila lagi belajar masak, Mas. Lila mau pintar masak kayak ibu. Tapi Lila udah jago masak nasi goreng, Mas. Meskipun baru Lila yang bilang kalau nasi goreng buatan Lila itu enak. Hihihi. Oh iya, bulan lalu temen-temen Lila ke Bandung. Lila diajak, Mas. Tapi enggak boleh pergi sama ibu, takut Lila capek kata ibu, soalnya bulan lalu Lila banyak kegiatan juga, Mas. Padahal, kalau Lila jadi ikut ke Bandung, kita bisa janjian ketemu kan, Mas? Pasti seru deh. Selama ini kan kita ketemu cuma di Jakarta, Mas. Belum pernah ketemu di Bandung.
Udah dulu ya, Mas. Dari tadi ibu panggil Lila, tapi Lila undur-undur. Mas, Lila sayang Mas Panji. Semangat ya kuliahnya! Biar cepet lulus, jadi bisa cepet pulang dan ketemu Lila, hehehe. Lila tunggu balasannya ya, Mas. Untuk kali ini, jangan sampai lupa. ^^
                                                                                                             12 Februari 2015


Lila

Senin, 09 Februari 2015

Diam-Diam Jatuh Cinta

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, dan Luthfiatul Fuadah

Kemarin, melalui mimpi kita bersua dalam hangat.
Desau angin berbisik lirih mengenai rindu yang enggan padam.
Di sana aku bisa mengingkari kenyataan.
Kita bisa terus bersua tanpa kenal bosan.
Bukankah itu yang selama ini kita semogakan?
Karena dalam jumpa tak sengaja mata kita bercerita tentang harap kita pada cinta.
Pada arti kata bersama; aku dan kamu.
Seiring pandang mata yang menyematkan kita pada asa,
meski dekap belum leluasa,
nyatanya kita masih bebas meminta dalam doa.

Dengarkanlah pada temaram panjang…
Ada yang diam-diam berbahasa, menyampaikan berpatah-patah kata.
Ada yang diam-diam mengucap amin dalam hatinya, karena doa untuk cinta.
Ada yang diam-diam merunduk karena menahan rindu dalam dada.
Ada yang diam-diam meradang bila ada yang lain dalam pandang kasihnya.
Ada yang diam-diam merasa diri paling tahu dan ingin tahu segalanya.
Ada yang diam-diam berdoa untuk tetap bisa bertemu mata.
Dan ada yang diam-diam jatuh cinta.


Bekasi-Sukabumi, 9 Februari 2015

Kau Kemana?

Di pelataran bank aku masih menunggu. Hujan. Kau berjanji datang menjemputku setelah aku menyelsaikan urusanku di bank. Berkali-kali aku menghubungimu, tanpa jawaban. Pesanku tak kau balas. Teleponku tak kau angkat. Terakhir kudengar suara wanita petugas provider ponselmu yang meminta maaf atas namamu karena kau tak bisa menjawab teleponku.
Satu jam, hujan makin deras. Aku makin risau. Kalau kupaksakan pulang, pakaianku akan basah dan kemungkinan terburuk, kau marah karena aku tak sabar menunggumu. Petir. Aku takut. Pukul tiga sore, bank tutup. Semakin sore, satu per satu karyawan bank meninggalkan gedung. Aku? Masih di pelataran, menantimu. Hampir pukul empat, kau masih tak memberi kabar, aku masih menanti. Pukul empat lewat, kau masih tak membalas pesan, tak menjawab telepon. Hampir pukul lima, kucoba menghubungimu lewat berbagai sosial media, masih tanpa kabar. Senja, hampir maghrib. Hujan berhenti, sisa rintik. Aku mendongak, menengadahkan tangan ke bawah langit, setetes dua tetes. Hampir kering.
Aku beranjak tanpa kabar darimu. Pergi. Kuberhentikan mobil sedan berwarna biru, kendaraan umum menengah ke atas. Masuk. Duduk, dan sambil menggigit jari kulihat keluar jendela, kalau-kalau aku menemukanmu sedang dalam perjalanan berlawanan arah. Nihil.
Kau kemana?
Sampai di rumah. Setelah membayar, aku masuk. Mandi dan berganti pakaian. Kuhabiskan sisa malamku di kamar, sambil memandangi ponselku tanpa ada penambahan pemberitahuan di layarnya.
Hampir pukul sembilan, layarku berkedip. Satu pesan. Kamu. Kubuka;
"Maaf, aku harus tetap di rumah sampai satu minggu ke depan. Ada persiapan pertunanganku dengan gadis pilihan orang tuaku."
Hujan turun. Deras. Petir bersahutan. Deras membasahi pipi. Semakin malam, semakin larut, terlelap dalam sedih.

Di kursi tunggu, dalam bank. 10 Februari 2015

Selasa, 03 Februari 2015

Sajak Rindu

Oleh: Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, dan Luthfiatul Fuadah

Tung tung paratuntung. Begitu kau biasa bersajak, Mak. Ah rindu aku bergurau, berkeluh-kesah manja. Menghabiskan berjam-jam waktu. Sahabatku.
Seperti malam ini, lekat kupandangi gambar pengabadian cerita kita hari itu. Setetes demi setetes turun membersamai tangisan langit.
Sewaktu itu dalam ruang kecil kedap suara, tempat kita beradu cerita yang “katanya” pilu, tetapi denganmu pecah tawa dalam gulita.
Seperti malam kemarin, cerita kegundahan ini belum selesai. Denganmu kubiasa bercerita. Kini sedikitpun waktu belum berpihak pada kita untuk bergurau bersama.
Apa boleh kuutarakan rindu? Maaf, aku melunjak. Aku sangat rindu. Saat dekap hangat kita bertemu, denganmulah aku menemukan diriku. Lugu. Apa adanya.
Sejujurnya, seluruhnya rindu. Sangat rindu. Ingin mendekapmu walau raga ini tak sampai.
Setiap temaram berbayang aku yang tengah menimang rindu padamu gadis-gadis jalang tersayang.
Sesungguhnya aku terharu. Bagaimana tidak? Kau begitu tulus merindukanku. Sehingga aku tidak merasakan pahitnya kerinduan yang tak terbalas.
Kubilang, kau boleh terharu mulai sekarang. Sebab rindumu kubalas lebih dalam. Tak bertepuk sebelah tangan.

30 Januari 2015


Kamu; Bagian 1

Lekat kupandangi potret wajahmu sedari tadi. Lamat-lamat kutelusuri dari ujung kepala sampai hati.
Aku selalu protes, saat kau berusaha menyaingi panjang rambutku. Aku ingin rambutmu tertata rapi. Pada puncak tubuhmu, aku ingin memberikan sensasi usapan paling melenakan di sana. Mengantarmu terlelap di setiap malamnya. Membiarkanmu melepas penat kepalamu di pangkuanku. Nyenyak, dan bermimpi indah.
Aku selalu ingin menyentuh tegas rahangmu. Mengikuti alurnya dari pelipis sampai dagu. Merasakan pakem-pakem tulang wajah yang begitu gagah. Lebih dekat kupandangi. Aku pun ingin mendaratkan telapak tanganku di kedua pipimu. Memberikan sensasi usapan hangat di kedua sisinya. Menyatakan rasa melalui isyarat yang begitu nyata.
Aku ingin berselancar di antara alis matamu sampai dasar hidung yang bentuknya jauh lebih sempurna dari milikku. Tapi aku tetap mensyukurinya. Bukankah kau jatuh cinta pada hidungku? Kau boleh tertawa.
Aku selalu ingin menyentuh senyum itu. Menarikan jemariku di sana. Cukup jemari, tanpa menarikan sepasang bibirku di sana. Ada waktunya. Aku ingin jadi sebab dari akibat pemanis wajahmu terus berkembang di singgasananya.
Pada spasi antara jenjang leher dengan pundakmu, aku ingin sisipkan daguku yang bersandar di sana. Berlawanan. Begitu pun kau yang mematokkan dagumu di pundakku. Dalam dekap yang membuat jarak di antara kita begitu dekat. Di antara tubuh yang hampir tiada celah, aku terlalu hatam aromanya. Aku begitu menyukai wewangian yang kau semprotkan pada tubuh, itu salah satu hal pemicu rindu yang paling ampuh.
Dalam rongga yang bidang, semoga aku pengisi bagian yang rumpang.


Bekasi, 3 Februari 2015