Postingan Populer

Selasa, 17 Maret 2015

Seksama Kudengarkan

Sensasi ruas-ruas jarimu masih begitu pekat dalam genggaman, tapi wujudnya tak lagi ada. Tatkala kita berpayung titik-titik air langit, puncak tubuhmu mulai basah waktu demi waktu. Kau berlari, dari tempatmu berdiri sampai persis masuk ke dalam hati. Peluhmu bercucuran kian deras pertanda usahamu juga begitu keras. Aku merajuk, membuat lututmu menyentuh tanah dan menghadirkan mimik wajahmu yang sarat dengan kata memohon. Kau datang terlalu lama. Ribuan detik kuhabiskan di balik kaca rias, memperbaiki diri agar jadi yang paling kau puja. Tapi kupastikan, di tengah jalan sebelum kau sampai, kau berpaling.
Kau mendaratkan pengungkapan rasa yang singkat di atas keningku, tapi sempat kau tahan. Aku menutup mataku, mencoba merasakan sensasi ketulusan yang katanya kau beri seutuhnya padahal jelas kau bagi-bagi sesuai kadarnya. Entah bagianku lebih banyak, atau justru tak mendapat bagian. Lenganmu mendekat, menarikku kepada dekap yang katanya paling nyaman. Aku mengerjap sesaat, menepuk sedikit keras pipiku, mencubit lenganku, sekadar memastikan aku tidak dalam alam yang lain ­–mimpi­. Sampai akhirnya kau lepaskan, ada sesak yang kurasakan.
Titik-titik air langit menderas, kita merapat. Berlari kecil, berteduh di bawah sepetak atap yang masih tak mampu menahan pelukan alam yang hangatnya merambah dalam-dalam. Kau sibakkan pembungkus kemejamu lebar-lebar, mencoba menghalau hujaman hujan yang kian membasahi helai-helai hitam yang semakin kuyup. Aku merapatkan lenganku pada tubuh, kau menyumbangkan satu lenganmu melalui punggung. Cukup membantu.
Sedetik kemudian, kau mencoba mengalahkan suara deras dan memulai percakapan. Aku menjawab sekenanya. Tapi kau tak menyerah. Aku juga terus menjawab sekenanya. Tapi aku kian merasa kalah, pembicaraanmu menyita perhatianku. Seksama kudengarkan.

18 Maret 2015

Minggu, 08 Maret 2015

Hidangan Rindu

Oleh: Arini Hidayah, Lulu Farhatul Ummah, Luthfiatul Fuadah, dan Tasya Nanda Chinita

Kau meramu, meracik bumbu-bumbu
Tidakkah kau sadar aku mulai jatuh hati padamu?
Sejak kau memilah sayur-mayur terbaik
Sampai kau hidangkan, ada cinta tak tertahan
Jangan hanya beri bumbu, kenakan clemekmu!
Meramulah dan beri sedikit candu rindu
Sajikan dalam sepiring nasi untuk berdua
Kata orang, sepiring berdua bisa merasakan canda dalam romansa
Apa kau tidak berpikiran untuk mencoba?
Aku telah menunggumu di meja
Kapan kita bercinta dengan nikmatnya sepiring berdua?
Asa dalam diriku telah bercampur candu rindu
Kau pun bumbui dengan rempah-rempah pengharapan yang tak kalah banyak
Membuat semakin berselera
Ada yang menggelitik hidungku
Kutelusuri aroma itu seperti ada yang beda
Kau mencumbuku, memanjakanku
Dengan aroma yang selalu terngiang membuatku mabuk kepayang
Kau hanya mengajakku mencicipi setiap bumbu
Yang kau racik dengan candu rindu
Tanpa kau beri aku penawar terhadap bumbu itu
Kau hidangkan nasi dengan tumpukkan rindu di atasnya
Kau beri bumbu-bumbu sebagai pelengkap hidangannya
Rasanya kalbu ini menggebu-gebu
Kau buatku rindu
Berbahankan kasih dan sayang kau racik suatu hidangan yang membuatku kepayang
Kau tambah dengan sedikit pemanis sebagai pelengkapnya
Agar kita tetap harmonis nantinya


25 Februari 2015

Kepada Langit


Oleh: Arini Hidayah dan Cahya Ali Nur Ikhsan

Langit…
Tahukah engkau bahwa jiwa ini tak mampu menahan rasa?
Rasa rindu yang teramat menusuk
Bahkan langit…
Tahukah engkau tentang sesak yang terasa lantaran
Rindu tak jua tersampaikan?
Andai engkau tahu, wahai langit…
Tiap kali jemari ini rindu akan genggaman tangannya
Hanya mampu menyentuh sang kasih dari kejauhan tanpa menatap matanya
Tapi langit…
Bosankah kau mendengar doa-doa tulus yang kupanjatkan?
Bosankah kau mendengar harapan-harapan baik dariku untuknya?
Sampai kapan kau bersedia membendung
dan menahan doaku untuknya? Harapku untuknya?

Langit…
Jangan dulu lelah menjadi wadah keluh kesah
Jangan dulu sedih lantaran aku masih mengadu perih
Jangan dulu kecewa dengan pengaduanku atas luka
Juga jangan dulu bahagia ketika kuutarakan cinta
Jangan dulu merajuk dan meringis
kala kau tak mampu lagi membendung segala doa dan harap hingga hampir menangis
Setialah menjadi sandaran
Senantiasa mendekapku saat aku merasa terabaikan
Langit…
Dekap aku selagi rapuh
Bantu aku menikmati lelapku


Bekasi – Bandung, 26 Februari 2015