Sensasi ruas-ruas jarimu masih begitu pekat dalam
genggaman, tapi wujudnya tak lagi ada. Tatkala kita berpayung titik-titik air
langit, puncak tubuhmu mulai basah waktu demi waktu. Kau berlari, dari tempatmu
berdiri sampai persis masuk ke dalam hati. Peluhmu bercucuran kian deras
pertanda usahamu juga begitu keras. Aku merajuk, membuat lututmu menyentuh
tanah dan menghadirkan mimik wajahmu yang sarat dengan kata memohon. Kau datang
terlalu lama. Ribuan detik kuhabiskan di balik kaca rias, memperbaiki diri agar
jadi yang paling kau puja. Tapi kupastikan, di tengah jalan sebelum kau sampai,
kau berpaling.
Kau mendaratkan pengungkapan rasa yang singkat di atas
keningku, tapi sempat kau tahan. Aku menutup mataku, mencoba merasakan sensasi
ketulusan yang katanya kau beri seutuhnya padahal jelas kau bagi-bagi sesuai
kadarnya. Entah bagianku lebih banyak, atau justru tak mendapat bagian. Lenganmu
mendekat, menarikku kepada dekap yang katanya paling nyaman. Aku mengerjap
sesaat, menepuk sedikit keras pipiku, mencubit lenganku, sekadar memastikan aku
tidak dalam alam yang lain –mimpi. Sampai akhirnya kau lepaskan, ada sesak
yang kurasakan.
Titik-titik air langit menderas, kita merapat. Berlari
kecil, berteduh di bawah sepetak atap yang masih tak mampu menahan pelukan alam
yang hangatnya merambah dalam-dalam. Kau sibakkan pembungkus kemejamu
lebar-lebar, mencoba menghalau hujaman hujan yang kian membasahi helai-helai
hitam yang semakin kuyup. Aku merapatkan lenganku pada tubuh, kau menyumbangkan
satu lenganmu melalui punggung. Cukup membantu.
Sedetik kemudian, kau mencoba mengalahkan suara deras
dan memulai percakapan. Aku menjawab sekenanya. Tapi kau tak menyerah. Aku juga
terus menjawab sekenanya. Tapi aku kian merasa kalah, pembicaraanmu menyita
perhatianku. Seksama kudengarkan.
…
18 Maret 2015