Pekan pendidikan di SMA-ku, semua
alumni yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hadir di pekan
pendidikan tersebut untuk memperkenalkan perguruan tinggi mereka masing-masing
kepada kelas dua belas sebagai referensi perguruan tinggi yang kelak menjadi
tujuan mereka. Ini merupakan tradisi di sekolahku dan kali ini aku menjadi
salah satu dari alumni yang akan memperkenalkan perguruan tingginya kepada
kelas dua belas. Kepanitiaan tersusun rapi, aku hanya menjadi anggota sebab
tidak hadir ketika rapat panitia diadakan.
Hari ini pertama kalinya kita
bertatap muka. Kita, aku dan dia. Di pekan pendidikan sekolah. Dia menjadi
panitia penanggung jawab acara, lebih tepatnya jadi pembawa acara. Apa yang
kupikirkan? Tidak, aku tak sempat memikirkan apapun tentangnya karena memang
kita dalam keadaan hanya sebatas tahu, bukan saling kenal, ataupun berteman
akrab. Tidak ada kesan berarti diantara kita selama acara itu berlangsung. Dia
sibuk dengan dunia dan teman-temannya, akupun demikian. Sampai pada akhirnya, aku
hendak pulang bersama sahabatku --yang juga teman sekelasnya selama sekolah
dulu, dia dan sahabatku saling tegur, dan aku? Aku tergabung dalam percakapan
seru teman lama. Iya, diantara mereka berdua. Masih tidak ada kesan berarti
sampai saat itu.
Beberapa hari kemudian, ah, ada
pesan masuk di facebook-ku. Baiklah, kuperjelas. Aku sedang aktif
di facebook saat itu, dan menemukan pesan pribadi darinya di kotak
masuk facebook-ku.
"Hai, apa aku boleh meminta
nomor ponselmu?"
Kubalas, iya, aku membalas pesannya.
Tanpa pikir panjang.
"Untuk apa?" Pertanyaan
bodoh.
"Jelas untuk menghubungimu,
masa' untuk menghubungi ibumu?" Dia mencoba lucu.
"Bisa jadi, siapa yang tahu
kalau kau berniat menjalin hubungan dengan ibuku?"
Aku menang. Haha.
"Ah, lupakan! Jadi, berapa nomor
ponselmu?"
"Apa aku harus memberi
tahumu?"
"Harus. Ini perintah!" Dia
pikir, dia siapa?
"Baiklah, 081218101995.
Ini."
"Nah, selesai bukan urusannya?
Kau membuatnya rumit."
"Kau menyebalkan."
"Akan kuhubungi kau nanti.
Tunggu ya!"
Apa aku harus menunggunya? Untuk
apa? Baiklah, aku menunggunya. Hei! Aku ini kenapa?
Esoknya dia menghubungiku. Aku menunggunya 1x24 jam. Macam tamu di komplek perumahan saja yang harus melaporkan diri dalam kurun waktu 1x24 jam. Tunggu! Kalau begitu apa aku terlihat seperti petugas keamanan? Eeerrrrr... aku mulai sebal.
Esoknya dia menghubungiku. Aku menunggunya 1x24 jam. Macam tamu di komplek perumahan saja yang harus melaporkan diri dalam kurun waktu 1x24 jam. Tunggu! Kalau begitu apa aku terlihat seperti petugas keamanan? Eeerrrrr... aku mulai sebal.
Komunikasi intensif itu terjadi
kurang lebih 2x24 jam. Ah, sudah jangan seperti ini! Ralat. Komunikasi intensif
itu terjadi kurang lebih dua hari --ini lebih enak didengar, maksudku dibaca.
Aku mengalami hal mengejutkan lainnya, selain dia yang secara tiba-tiba meminta
nomor ponselku. Ada yang ingin menebaknya? Tidak, jawabanmu salah. Jawaban yang
benar adalah... dia menyatakan perasaannya padaku dan memintaku menjadi
kekasihnya! Ssssttttt... jangan keras-keras. Aku malu didengar tetangga.
***
Aku dengan mudah mendapatkan nomor ponselnya. Aku akan
membuatnya menunggu dan menumbuhkan rasa penasaran terhadapku. Pria cerdas. Aku
menghubunginya. "Hai." Perlu diketahui, aku cukup memikirkan apa yang
ingin aku kirim pada pesan singkat yang akan kukirimkan untuknya, iya, untuk
memulai percakapan dengannya. Hingga akhirnya yang mampu kutulis hanya sebatas
tiga huruf itu. Payah.
Dddrrrrrttttt... dddrrrrtttt... ponselku bergetar. Pesan
masuk. Darinya.
"Hai." Apa? Hanya itu? Hhhhh... baiklah.
"Kudengar Kau gagal move on, ya?
Hahaha"
Aku meledeknya. Tepat sasaran. Hati dan pikirannya.
"Jangan ungkit itu! Kau sebaiknya berkaca!"
Dia mulai sebal, dan aku suka. Secepat itukah aku
merasakan kenyamanan itu?
Dua hari berkomunikasi secara intensif dengannya, aku
lebih banyak menggodanya. Mengungkit masa lalunya. Diapun mengungkit masa
laluku. Aku menemukan keterbukaan sekaligus kepercayaan di sana, yang tak bisa
kudapatkan dari kekasihku sebelumnya. Prinsipku, jika aku sudah nyaman dengan seseorang,
aku akan menyatakan segalanya. Perasaanku. Tak peduli bagaimana reaksinya. Baik
sebentar atau lama aku dan orang itu dalam konteks "pendekatan",
kalau memang sejak awal dia sudah tidak membukakan pintu hatinya untukku, untuk
apa diperjuangkan? Dan aku, menyatakan kenyamanan itu padanya. Aku memintanya
jadi kekasihku, dengan syarat aku harus menemuinya, bertatap muka dengannya.
Aku membuat janji dengannya untuk bertemu. Dan dia meng-iya-kan pertemuan itu.
***
Fatma, adik kelasku, tiba-tiba menghubungiku.
"Kak, Kakak sedang menjalin hubungan dengan Kak
Genta?"
Pertanyaan tepat sasaran, dan aku jadi senyum-senyum
sendiri membacanya.
"Kamu tahu dari mana, Ma?" Tanyaku tanpa
basa-basi.
"Ada deh. Hihihi.
Kak, Kak Genta baik kok. Aku sering mendengar cerita tentang masa lalunya. Dia
berusaha melakukan hal yang terbaik untuk hubungannya."
"Tapi aku mendengar kabar yang kurang baik tentang
Kak Genta, Ma."
Kekhawatiranku seketika muncul. Genta memang terkenal
cowok playboy di sekolah
dulu. Fatma berkali-kali meyakinkan aku bahwa Genta memang benar-benar sudah
berubah. Dan aku percaya. Dan akhirnya, aku dan Genta menjadi sepasang
kekasih.
***
“Laki-laki
dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap itu
sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang
setinggi-tingginya; Jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah
terbang burung itu sama sekali. –Soekarno.”
Siapa yang menduga jika kata-kata
itu disampaikannya lewat pesan suara yang dikirimkannya ke ponselku. Bertambahlah
kagum aku padanya. Aku tak mau kalah, kukirimkan pesan balasan untuknya. Pesan
suara juga, tentunya.
"Kau
tahu sesuatu, Bung? Aku selalu mendengarkan pesan suara darimu dipenghujung
hariku. Selain itu akan membuatku merasa tersanjung, suaramu juga kujadikan
lagu pengantar tidur agar aku selalu memimpikanmu."
Aku mengirimkan pesan itu padanya
dengan segenap rasa dalam hatiku. Aku mengaguminya, sebagai sosok Bung Karno
dalam masaku.
"Selamat
malam, Nyonya Bung Karno. Kurasa kau sudah terlelap. Semoga kau mimpi indah,
memimpikanku kalau bisa. Aku mencintaimu."
Tak lama pesan suara itu masuk,
pesan singkat darinya turut memasuki kotak masuk pesan ponselku.
"Apa
kau sudah mendengarkan pesan suara dariku, Nyonya? Aku yakin kau semakin rajin
mendengarkan suaraku setiap malamnya."
"Kau menyebalkan, Bung. Kau
terlalu pandai mengukir senyum di wajahku."
Berbunga-bunga hatiku membalas
pesannya.
***
"Kak, Kakak sama Kak Genta ...
?"
Umma, adik kelasku, menanyakan hal
yang sama dengan Fatma.
"Ada masalah, Ma?" Yang
kudengar dari nada bicaranya, Umma sedikit heran.
"Aku baru dengar dari teman
sekelasku, Zahra. Kak Genta masih sering menghubunginya."
Aku merasakan ada hal yang semakin
ganjil diantara aku dan Genta. Setelah berbincang dengan Umma, aku
mengaktifkan facebook-ku. What a surprise!
Aku menemukan foto Genta, bersama Rahmi -adik kelasku lainnya. Foto itu baru
saja diunggah. Beberapa menit yang lalu. Aku semakin merasa ganjil.
Satu hari, dua hari, tepat tiga
hari, Genta tanpa kabar. Aku semakin gundah. Uring-uringan. Kalut. Semakin
kacau. Pikiranku. Hatiku. Segalanya. Setelah kupertimbangkan, pada akhirnya aku
memberanikan diriku menghubungi Genta. Memutuskan hubunganku dengannya.
Hubungan yang bahkan memang mulanya ragu untuk kumulai. Semuanya terbukti.
Genta memang belum berubah, Genta masih belum bisa kupercaya.
***
Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku
bisa dipercaya, tapi mau dikatakan apa lagi, nyatanya memang aku dan Nabila
belum ditakdirkan bersama. Nabila belum sepenuhnya memberikan kepercayaannya
kepadaku, dia masih tertaut pada kenangan masa lalunya. Aku dan Nabila,
berakhir.