Postingan Populer

Rabu, 24 September 2014

Bung ...

Pekan pendidikan di SMA-ku, semua alumni yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hadir di pekan pendidikan tersebut untuk memperkenalkan perguruan tinggi mereka masing-masing kepada kelas dua belas sebagai referensi perguruan tinggi yang kelak menjadi tujuan mereka. Ini merupakan tradisi di sekolahku dan kali ini aku menjadi salah satu dari alumni yang akan memperkenalkan perguruan tingginya kepada kelas dua belas. Kepanitiaan tersusun rapi, aku hanya menjadi anggota sebab tidak hadir ketika rapat panitia diadakan. 
Hari ini pertama kalinya kita bertatap muka. Kita, aku dan dia. Di pekan pendidikan sekolah. Dia menjadi panitia penanggung jawab acara, lebih tepatnya jadi pembawa acara. Apa yang kupikirkan? Tidak, aku tak sempat memikirkan apapun tentangnya karena memang kita dalam keadaan hanya sebatas tahu, bukan saling kenal, ataupun berteman akrab. Tidak ada kesan berarti diantara kita selama acara itu berlangsung. Dia sibuk dengan dunia dan teman-temannya, akupun demikian. Sampai pada akhirnya, aku hendak pulang bersama sahabatku --yang juga teman sekelasnya selama sekolah dulu, dia dan sahabatku saling tegur, dan aku? Aku tergabung dalam percakapan seru teman lama. Iya, diantara mereka berdua. Masih tidak ada kesan berarti sampai saat itu.
Beberapa hari kemudian, ah, ada pesan masuk di facebook-ku. Baiklah, kuperjelas. Aku sedang aktif di facebook saat itu, dan menemukan pesan pribadi darinya di kotak masuk facebook-ku.
"Hai, apa aku boleh meminta nomor ponselmu?"
Kubalas, iya, aku membalas pesannya. Tanpa pikir panjang.
"Untuk apa?" Pertanyaan bodoh.
"Jelas untuk menghubungimu, masa' untuk menghubungi ibumu?" Dia mencoba lucu.
"Bisa jadi, siapa yang tahu kalau kau berniat menjalin hubungan dengan ibuku?"
Aku menang. Haha.
"Ah, lupakan! Jadi, berapa nomor ponselmu?"
"Apa aku harus memberi tahumu?"
"Harus. Ini perintah!" Dia pikir, dia siapa? 
"Baiklah, 081218101995. Ini."
"Nah, selesai bukan urusannya? Kau membuatnya rumit."
"Kau menyebalkan."
"Akan kuhubungi kau nanti. Tunggu ya!"
Apa aku harus menunggunya? Untuk apa? Baiklah, aku menunggunya. Hei! Aku ini kenapa?
Esoknya dia menghubungiku. Aku menunggunya 1x24 jam. Macam tamu di komplek perumahan saja yang harus melaporkan diri dalam kurun waktu 1x24 jam. Tunggu! Kalau begitu apa aku terlihat seperti petugas keamanan? Eeerrrrr... aku mulai sebal.
Komunikasi intensif itu terjadi kurang lebih 2x24 jam. Ah, sudah jangan seperti ini! Ralat. Komunikasi intensif itu terjadi kurang lebih dua hari --ini lebih enak didengar, maksudku dibaca. Aku mengalami hal mengejutkan lainnya, selain dia yang secara tiba-tiba meminta nomor ponselku. Ada yang ingin menebaknya? Tidak, jawabanmu salah. Jawaban yang benar adalah... dia menyatakan perasaannya padaku dan memintaku menjadi kekasihnya! Ssssttttt... jangan keras-keras. Aku malu didengar tetangga. 
*** 
Aku dengan mudah mendapatkan nomor ponselnya. Aku akan membuatnya menunggu dan menumbuhkan rasa penasaran terhadapku. Pria cerdas. Aku menghubunginya. "Hai." Perlu diketahui, aku cukup memikirkan apa yang ingin aku kirim pada pesan singkat yang akan kukirimkan untuknya, iya, untuk memulai percakapan dengannya. Hingga akhirnya yang mampu kutulis hanya sebatas tiga huruf itu. Payah.
Dddrrrrrttttt... dddrrrrtttt... ponselku bergetar. Pesan masuk. Darinya. 
"Hai." Apa? Hanya itu? Hhhhh... baiklah.
"Kudengar Kau gagal move on, ya? Hahaha"
Aku meledeknya. Tepat sasaran. Hati dan pikirannya.
"Jangan ungkit itu! Kau sebaiknya berkaca!"
Dia mulai sebal, dan aku suka. Secepat itukah aku merasakan kenyamanan itu?
Dua hari berkomunikasi secara intensif dengannya, aku lebih banyak menggodanya. Mengungkit masa lalunya. Diapun mengungkit masa laluku. Aku menemukan keterbukaan sekaligus kepercayaan di sana, yang tak bisa kudapatkan dari kekasihku sebelumnya. Prinsipku, jika aku sudah nyaman dengan seseorang, aku akan menyatakan segalanya. Perasaanku. Tak peduli bagaimana reaksinya. Baik sebentar atau lama aku dan orang itu dalam konteks "pendekatan", kalau memang sejak awal dia sudah tidak membukakan pintu hatinya untukku, untuk apa diperjuangkan? Dan aku, menyatakan kenyamanan itu padanya. Aku memintanya jadi kekasihku, dengan syarat aku harus menemuinya, bertatap muka dengannya. Aku membuat janji dengannya untuk bertemu. Dan dia meng-iya-kan pertemuan itu.
***
Fatma, adik kelasku, tiba-tiba menghubungiku.
"Kak, Kakak sedang menjalin hubungan dengan Kak Genta?"
Pertanyaan tepat sasaran, dan aku jadi senyum-senyum sendiri membacanya.
"Kamu tahu dari mana, Ma?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Ada deh. Hihihi. Kak, Kak Genta baik kok. Aku sering mendengar cerita tentang masa lalunya. Dia berusaha melakukan hal yang terbaik untuk hubungannya."
"Tapi aku mendengar kabar yang kurang baik tentang Kak Genta, Ma."
Kekhawatiranku seketika muncul. Genta memang terkenal cowok playboy di sekolah dulu. Fatma berkali-kali meyakinkan aku bahwa Genta memang benar-benar sudah berubah. Dan aku percaya. Dan akhirnya, aku dan Genta menjadi sepasang kekasih. 
***
 “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; Jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali. –Soekarno.
Siapa yang menduga jika kata-kata itu disampaikannya lewat pesan suara yang dikirimkannya ke ponselku. Bertambahlah kagum aku padanya. Aku tak mau kalah, kukirimkan pesan balasan untuknya. Pesan suara juga, tentunya.
"Kau tahu sesuatu, Bung? Aku selalu mendengarkan pesan suara darimu dipenghujung hariku. Selain itu akan membuatku merasa tersanjung, suaramu juga kujadikan lagu pengantar tidur agar aku selalu memimpikanmu."
Aku mengirimkan pesan itu padanya dengan segenap rasa dalam hatiku. Aku mengaguminya, sebagai sosok Bung Karno dalam masaku.
"Selamat malam, Nyonya Bung Karno. Kurasa kau sudah terlelap. Semoga kau mimpi indah, memimpikanku kalau bisa. Aku mencintaimu." 
Tak lama pesan suara itu masuk, pesan singkat darinya turut memasuki kotak masuk pesan ponselku.
"Apa kau sudah mendengarkan pesan suara dariku, Nyonya? Aku yakin kau semakin rajin mendengarkan suaraku setiap malamnya." 
"Kau menyebalkan, Bung. Kau terlalu pandai mengukir senyum di wajahku."
Berbunga-bunga hatiku membalas pesannya.
***
"Kak, Kakak sama Kak Genta ... ?"
Umma, adik kelasku, menanyakan hal yang sama dengan Fatma.
"Ada masalah, Ma?" Yang kudengar dari nada bicaranya, Umma sedikit heran.
"Aku baru dengar dari teman sekelasku, Zahra. Kak Genta masih sering menghubunginya."
Aku merasakan ada hal yang semakin ganjil diantara aku dan Genta. Setelah berbincang dengan Umma, aku mengaktifkan facebook-ku. What a surprise! Aku menemukan foto Genta, bersama Rahmi -adik kelasku lainnya. Foto itu baru saja diunggah. Beberapa menit yang lalu. Aku semakin merasa ganjil. 
Satu hari, dua hari, tepat tiga hari, Genta tanpa kabar. Aku semakin gundah. Uring-uringan. Kalut. Semakin kacau. Pikiranku. Hatiku. Segalanya. Setelah kupertimbangkan, pada akhirnya aku memberanikan diriku menghubungi Genta. Memutuskan hubunganku dengannya. Hubungan yang bahkan memang mulanya ragu untuk kumulai. Semuanya terbukti. Genta memang belum berubah, Genta masih belum bisa kupercaya. 
***

Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku bisa dipercaya, tapi mau dikatakan apa lagi, nyatanya memang aku dan Nabila belum ditakdirkan bersama. Nabila belum sepenuhnya memberikan kepercayaannya kepadaku, dia masih tertaut pada kenangan masa lalunya. Aku dan Nabila, berakhir.