Postingan Populer

Sabtu, 13 Desember 2014

Empat Belas dalam Satu

Oleh: Arini Hidayah

Datang
Mamandang
Terbayang
Melayang
Sayang
Terhadang
Rintang
Perang
Berjuang
Parang
Pulang
Pecundang
Terbuang
Hilang


Bekasi, 13 Desember 2014

Kamis, 11 Desember 2014

Puisi

Oleh: Arini Hidayah dan Muhammad Syakir Ni’amillah Fiza

Genangan dalam hatiku
kini telah mengalir
bersama tinta dalam pena.
Pada ketidakpahaman memaknainya,
tersimpan tanya di setiap goresannya.
Tegas mengalun.
Lembut mengungkap.
Dengan puisi inilah caraku beribadah.
Mensyukuri anugerah Tuhan
(berupa engkau)
yang begitu indah.

Ciputat, 9 Desember 2014


Kau Bilang, Kau Sayang

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Kau bilang, kau sayang…
Tapi kau biarkan aku seperti gelandang
yang tinggal tulang.

Angin berhembus kencang
menakutkan hati yang bimbang.
Getarkan cinta penuh gelombang,
membiaskan diri pada karang.

Kau bilang, kau sayang…
Tapi rinduku tak kau bilang.
Seperti tulang belulang,
kau buang ke dasar jurang.

Tulang belulang terpisah dari daging yang menyarang,
hadirnya tak akan pernah lekang.
Rupanya suci bak warna cinta
untukmu yang tersayang.

Kau bilang, kau sayang…
Aku harus menanggung sakit yang berulang,
sedang kau hilang sejak kau bilang pulang.
Dan aku terus meradang meski tinggal tulang belulang.

Burung-burung serta belalang
jua sadis menyantap dengan garang.
Bahkan barisan semut siap menyerang.
Sungguh malang si tulang belulang.
Kemudian anjing-anjing hutan
mencabik tulangku hingga tak bersisa,
sedang kau riang
bersahaja bersua.

Kau bilang, kau sayang…
Sejak kau pulang tanpa bilang,
ada yang tersayat dalam-dalam.
Sejak tulang remuk dimakan belalang,
ada kecewa tak berbilang,
sudah cukup membuat berang.

Katamu…
“Sakitmu menjalar hingga terasa kepayang.
Lukamu dalam bagai ditusum kerang.
Kala itu aku bukannya pulang,
tapi aku merindunya. Cintaku yang kusayang.”

Serasa lengan hendak meraih parang,
menikam hati yang bergelut perang.
Adakah lagi uraian sayang pada jiwanya yang (masih) bimbang?

Aku tak main-main mulai sekarang.
Jika bimbang masih bersarang, pulang saja kau tanpa berjuang!
Bawa parang dan kau hunus cintaku sekali tumbang!

Pada yang bimbang tak kubiarkan harapan menyarang.
Meski padanya asa terus berkembang.
Tapi tikaman terakhirnya dengan parang,
membuat sakit sampai belulang.

Kau bilang, kau sayang…
Di malam bertabur bintang akankah kau nodai dengan adanya perang?
Tidakkah kau menginginkan untuk bertahan dan berjuang?

Masa bodo kau anggap aku jalang,
sebab bicara terlalu lantang.
Baik kau bilah aku dengan parang
daripada perlahan kau buat aku mati malang.

Padahal…
kau tikam berulang dengan parang pun aku takkan garang,
sebab aku terlampau sayang.

Kau bilang, kau sayang…
Kau sayang sungguh malang, tak bisa binasakan rasa bimbang.
Andai kau pejuang, harus kau pilih yang kau sayang.
Bukan bermain dalam jurang.
Kau mabuk kepayang.


Ciputat, 10 Desember 2014

Jumat, 28 November 2014

Topi Hitam

Oleh: Arini Hidayah

Kacamata. 
Topi hitam.
Kemeja atau koko putih. 
Topi hitam.
Jeans atau celana bahan hitam. 
Topi hitam.
Sepatu. 
Topi hitam.
Jam tangan. 
Topi hitam.
Jaket abu-abu.
Topi hitam. 
Laptop.
Topi hitam.
Ponsel.
Topi hitam.
Al-Quran, al-matsurat, MP3 ayat suci Al-Quran. 
Topi hitam.
Power bank.
Topi hitam. 
Motor hitam.
Topi hitam.
Ransel hitam. 
Topi hitam.
Tidak suka keju.
Topi hitam.
...

28 November 2014

Rabu, 26 November 2014

Puisi Linguistik

Dibahasakan oleh: Muhammad Syakir Ni'amillah Fiza, Arini Hidayah, dan Anisa Rahayu

Seperti suprasegmental;
sikapmu memiliki tekanan, intonasi, dan aksen yang berbeda dari yang lain;
unik.
Aku dan Kau adalah vokal,
mari menyatu menjadi diftong;
maka lahir suara-suara pembaharu.

Jujur atau dusta, seperti arkhifonem.
Kehilangan kontras antara keduanya.
Terdengar sama.
Seperti morfem yang mengalami segmentasi menjadi silabel;
terpisah.
Menghadapi sikapmu seperti awal mempelajari transkripsi;
rumit.
Setelahnya, terbiasa.
Alofon; satu fonem memiliki variasi bunyi.
Sama halnya satu kisah,
beragam variasi ceritanya.
Tergantung siapa yang bertutur kata.

Hidup hanyalah hidup,
tak dengan mudah untuk kita menciptakan bahagia.
Sukar.
Layaknya konsonan dalam sebuah morfem tanpa vokal,
sukar kita diciptakan untuk menjadi satu morfem satu kata,
satu kalimat hingga menjadi cerita.
Konsonan dan vokal adalah cinta,
cinta Arjuna dan Srikandi.
Jangan posisikan aku sebagai arkhifonem,
yang membuat cinta Arjuna menjadi luntur,
bahkan hilang kontrasnya.
Aku hanya ingin menjadi tanda glotal,
walau kecil tapi aku ada.


Ciputat, 18 Juni 2014

Sayang...

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Aku tersisih diantara diksi,
terperangkap pada sesal karena tak turut berdiskusi.
Dan kini aku tak diajak untuk turut memadukan diksiku diantara puisi.
Rasanya sesal menyeruak seketika kudengar larikku melayang dihempas gerimis,
terkatup pula kalimat asmara yang sempat kutitipkan mesti tak lagi manis.

Bukan maksudku untuk mangkir, Sayang
larik-larik puisimu telah lama kukenang,
menanti cintanya mengawang,
namun aku terkatung tanggung yang menyarang.

Terima kasih.
Kamu yang memunguti diksiku setelah terbuang.
Lalu dibawa terbang melayang.
Dan kalian ini aku kepayang,
terbayang kamu yang tersayang.

Sayang aku tak lihat apa yang tayang.
Aku terpaksa hilang demi dia yang kusayang.
Bila aku membangkang,
aku pasti dibuang.
Kalian yang kusayang teruslah berjuang.
Benar sayang akan terbuang,
jika membangkang yang tersayang.
Sungguh beribu sayang,
kau tak paham, Sayang.
Engkau sayang pemeran tersayang.

Sayang…
berkali-kali kudendangkan kau di telinga mereka.
Berkali-kali kugambarkan kau di mata mereka.
Sampai kini,
kau kekal jadi pemeran utama.

Aku tak pandai memuji,
tapi aku pandai menyimpul tali.
Kau tahu yang ada di hati?
Sungguh kau seorang diri.

Lekas aku menarik diri,
sebab sadar kau tak menyadari.
Sesuatu yang abstrak di dalam hati,
kau tuding tak berarti.
Aku di sini,
kau pergi.
Aku pergi,
kau tak menanti.

Kini apalah dayaku,
menanti seseorang yang tak pernah mengharap kehadiranku.
Sebuah kisah klasik yang menggambarkan kesetiaan yang tak berarti.

Ada masanya,
yang terpuja jadi tiada.
Yang tadinya tiada,
kini begitu dipuja.
Bait itu pernah ada untuk yang terpuja.
Namun kala ia tiada,
biar bait yang simpan cerita.
Biar bahasa menyimpan cerita tentang kita,
karena saat rasa kembali tak dapat dijaga,
kelak kulantangkan kecewa.
Bukankah itu tanda cinta?

Jika cinta dikoar rasanya,
dia bukan rasa yang terdalam.
Cukup didoakan agar terucap dari kelembutan.
Kali ini saja…
cinta mengucap selamat pagi,
untuk yang terkasih.


Ciputat, 25 November 2014

Cinta Tulang Ikan


Dihidangkan oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Cinta tulang ikan bermula dari duri transparan
yang kemudian berkomplikasi antarlain organ
Apa kau tahu?
Jika tulang ikan bersemayam di tenggorokan namanya ketulangan,
tapi jika cinta bersemayam di dalam hati namanya kecintaan

Berbicara tentang cinta tulang ikan,
apa yang harus aku maknai?
Kesederhanaan tentang ungkapan cinta namun rumit merasakannya?
Tepat
Tentang sederhana dan kerumitan yang terjadi akibat cinta tulang ikan

Cinta tulang ikan,
rasa sesederhana bunyinya, tapi perih serumit rasanya
Ah memang, cinta sederhana diungkapkan
namun tidak untuk dirasakan
Seperti tulang ikan dipiring saji
Tawar
Namun harus dihabiskan
Melelahkan

Tersedak tulang ikan mungkin sama sakitnya
saat menahan cinta yang sudah sampai ditenggorokan
hendak diucap
Sama halnya ketika sudah menenggak air banyak-banyak,
tapi tak juga hilang
Malah meradang!
Butuh nasi agar tertelan dalam-dalam

Berbicara cinta tulang ikan
Biarlah, lebih baik saya tersenggak saja oleh tulang ikan itu,
lalu tak sadarkan diri,
hingga tak mengenal lagi apa itu cinta

Cinta tulang ikan
penyebab bait-bait sajak merinai
berkisah-kasih dalam-dalam
mengenai cinta dan perasaan
Jangan berhenti bersajak anak muda
karena tulang ikan masih belum habis di piring saji
serpihannya perlu diperhatikan
untuk menemukan makna cinta.


11 Oktober 2014

Minggu, 16 November 2014

Beberapa Detik

Beberapa waktu terakhir aku jadi sering mengingat kebersamaan kita mengamati rel-rel yang tergelar di sisi peron. Aku kembali terduduk pada kursi yang dirakit dari besi, di las, sampai terbentuk layak dan begitu mengkilat sebagai tempat duduk. Kosong, di sebelahku. Dahulu, ada kamu.
Aku kembali mengingat-ingat, bahu yang agak tebal terbungkus jaket hangat, kubaringkan kepalaku di sana. Mengamati rel-rel besi yang ditetesi air hujan waktu itu. Gerimis, hujan, lalu deras. Aroma tanahnya begitu mendamaikan kita.
Aku kembali merasakan, lengan yang menyeberangi pundakku, merangkulnya, membagi kehangatan yang sejak lama dirasakannya sendiri. Terpejam mataku. Semilir aroma tubuhmu jadi begitu hatam kuhapal. Kunikmati hangatnya.
Peron-peron semakin sepi kaki-kaki orang lalu lalang. Kita masih terduduk rapi dengan kepalaku di pundakmu dan lenganmu di pundakku. Senja datang. Hujan masih membasahi rel-rel besi itu. Percikannya membasahi peron, hampir basah kursi yang kita duduki.
Sedetik, semenit, sejam, berjam-jam sampai gelap. Aku merasa semakin tenggelam dalam dekap hangat lenganmu saat hujan.
"Aku ingin habiskan sisa waktuku denganmu, Ann." Pintanya.
Kupejamkan mataku, memohon pada Tuhan agar berbaik hati mengabulkan pintanya. Sesaat setelah suaranya kabur, kecupan dari bibirnya mendarat di kepalaku. Beberapa detik. Berarti.

St. Tanah Abang, 2 Oktober 2014

"Kita Mau Kemana?"

Petugas stasiun mengumumkan kereta akan segera datang. "Tujuan Jakarta Kota", katanya. Penumpang berlarian, bergegas berebut kursi agar bisa duduk sepanjang perjalanan. Dia masih di depan loket, menantiku seharusnya. Aku pun bergegas, mengejarnya. Dia pasti terlalu lama menungguku sampai terlihat rona kecemasan di raut peranakannya. "Maaf", dengan penuh sesal kumohonkan. Dia hanya tersenyum simpul. Peluh bercucuran di dahinya, mungkin begitu mengkhawatirkanku atau mungkin khawatir sebelum aku datang, kereta berangkat terlebih dahulu. 
Kemeja biru muda, kemeja kesukaannya. Tergulung sampai siku, seperti kali terakhir kita bertemu. Jaket abu-abu kehitaman yang biasa dikenakan, kini hanya tergantung di lengan kirinya. Mungkin terlalu gerah menunggu. Ponsel di tangan kanannya, sempat kulirik, dia sudah menekan nomor ponselku, hanya tinggal menekan tombol panggil kalau-kalau aku sampai lebih lama lagi. Kacamata dengan bingkai hitam, tak pernah bertengger di tempat selain hidungnya. 
"Kita mau kemana?", tanyaku. 
"Kau cukup bersedia kugandeng, dan jangan berani pindah dari sisiku. Sedetikpun!", pintanya. 
Dia langsung meraih jemariku, menggenggamnya erat. Takut terlepas katanya. Kereta keempat hari ini, gerbong ketiga. Bahuku terdorong orang yang hendak turun, "Aduh!". "Kau tak apa? Apa yang sakit?", dengan jemarinya yang tetap menggenggam erat jemariku. "Tak apa, jangan khawatir." 
Perjalanan kita dimulai, satu stasiun, dua stasiun, tiga stasiun. Kereta itu sesak, penumpang semakin bertambah seiring bertambahnya stasiun yang kita lewati. Kepalaku pusing, perutku mulai mual. Aku lemas. Kusandarkan kepalaku di pundaknya. Satu menit, dua menit, tiga menit, empat menit, lima menit setelahnya aku tak sadar. Hal terakhir yang kuingat hanya genggaman jemarinya yang mengerat. 
*** 

Dalam kereta menuju st. Jakarta Kota, 15 November 2014


Senin, 27 Oktober 2014

Hitam Tampan, yang Terbayang

Semesta merestui pandang
Kau terlihat tampan bahkan sampai petang
Senyum simpul yang senantiasa mengembang
Menyiratkan hatimu yang merasa senang

Bahkan hingga surya menghilang
Rupamu masih memenuhi bayang

Dalam balutan warna hitam
Aku terpesona begitu dalam

Ciputat, 23 September 2014

Rabu, 24 September 2014

Bung ...

Pekan pendidikan di SMA-ku, semua alumni yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hadir di pekan pendidikan tersebut untuk memperkenalkan perguruan tinggi mereka masing-masing kepada kelas dua belas sebagai referensi perguruan tinggi yang kelak menjadi tujuan mereka. Ini merupakan tradisi di sekolahku dan kali ini aku menjadi salah satu dari alumni yang akan memperkenalkan perguruan tingginya kepada kelas dua belas. Kepanitiaan tersusun rapi, aku hanya menjadi anggota sebab tidak hadir ketika rapat panitia diadakan. 
Hari ini pertama kalinya kita bertatap muka. Kita, aku dan dia. Di pekan pendidikan sekolah. Dia menjadi panitia penanggung jawab acara, lebih tepatnya jadi pembawa acara. Apa yang kupikirkan? Tidak, aku tak sempat memikirkan apapun tentangnya karena memang kita dalam keadaan hanya sebatas tahu, bukan saling kenal, ataupun berteman akrab. Tidak ada kesan berarti diantara kita selama acara itu berlangsung. Dia sibuk dengan dunia dan teman-temannya, akupun demikian. Sampai pada akhirnya, aku hendak pulang bersama sahabatku --yang juga teman sekelasnya selama sekolah dulu, dia dan sahabatku saling tegur, dan aku? Aku tergabung dalam percakapan seru teman lama. Iya, diantara mereka berdua. Masih tidak ada kesan berarti sampai saat itu.
Beberapa hari kemudian, ah, ada pesan masuk di facebook-ku. Baiklah, kuperjelas. Aku sedang aktif di facebook saat itu, dan menemukan pesan pribadi darinya di kotak masuk facebook-ku.
"Hai, apa aku boleh meminta nomor ponselmu?"
Kubalas, iya, aku membalas pesannya. Tanpa pikir panjang.
"Untuk apa?" Pertanyaan bodoh.
"Jelas untuk menghubungimu, masa' untuk menghubungi ibumu?" Dia mencoba lucu.
"Bisa jadi, siapa yang tahu kalau kau berniat menjalin hubungan dengan ibuku?"
Aku menang. Haha.
"Ah, lupakan! Jadi, berapa nomor ponselmu?"
"Apa aku harus memberi tahumu?"
"Harus. Ini perintah!" Dia pikir, dia siapa? 
"Baiklah, 081218101995. Ini."
"Nah, selesai bukan urusannya? Kau membuatnya rumit."
"Kau menyebalkan."
"Akan kuhubungi kau nanti. Tunggu ya!"
Apa aku harus menunggunya? Untuk apa? Baiklah, aku menunggunya. Hei! Aku ini kenapa?
Esoknya dia menghubungiku. Aku menunggunya 1x24 jam. Macam tamu di komplek perumahan saja yang harus melaporkan diri dalam kurun waktu 1x24 jam. Tunggu! Kalau begitu apa aku terlihat seperti petugas keamanan? Eeerrrrr... aku mulai sebal.
Komunikasi intensif itu terjadi kurang lebih 2x24 jam. Ah, sudah jangan seperti ini! Ralat. Komunikasi intensif itu terjadi kurang lebih dua hari --ini lebih enak didengar, maksudku dibaca. Aku mengalami hal mengejutkan lainnya, selain dia yang secara tiba-tiba meminta nomor ponselku. Ada yang ingin menebaknya? Tidak, jawabanmu salah. Jawaban yang benar adalah... dia menyatakan perasaannya padaku dan memintaku menjadi kekasihnya! Ssssttttt... jangan keras-keras. Aku malu didengar tetangga. 
*** 
Aku dengan mudah mendapatkan nomor ponselnya. Aku akan membuatnya menunggu dan menumbuhkan rasa penasaran terhadapku. Pria cerdas. Aku menghubunginya. "Hai." Perlu diketahui, aku cukup memikirkan apa yang ingin aku kirim pada pesan singkat yang akan kukirimkan untuknya, iya, untuk memulai percakapan dengannya. Hingga akhirnya yang mampu kutulis hanya sebatas tiga huruf itu. Payah.
Dddrrrrrttttt... dddrrrrtttt... ponselku bergetar. Pesan masuk. Darinya. 
"Hai." Apa? Hanya itu? Hhhhh... baiklah.
"Kudengar Kau gagal move on, ya? Hahaha"
Aku meledeknya. Tepat sasaran. Hati dan pikirannya.
"Jangan ungkit itu! Kau sebaiknya berkaca!"
Dia mulai sebal, dan aku suka. Secepat itukah aku merasakan kenyamanan itu?
Dua hari berkomunikasi secara intensif dengannya, aku lebih banyak menggodanya. Mengungkit masa lalunya. Diapun mengungkit masa laluku. Aku menemukan keterbukaan sekaligus kepercayaan di sana, yang tak bisa kudapatkan dari kekasihku sebelumnya. Prinsipku, jika aku sudah nyaman dengan seseorang, aku akan menyatakan segalanya. Perasaanku. Tak peduli bagaimana reaksinya. Baik sebentar atau lama aku dan orang itu dalam konteks "pendekatan", kalau memang sejak awal dia sudah tidak membukakan pintu hatinya untukku, untuk apa diperjuangkan? Dan aku, menyatakan kenyamanan itu padanya. Aku memintanya jadi kekasihku, dengan syarat aku harus menemuinya, bertatap muka dengannya. Aku membuat janji dengannya untuk bertemu. Dan dia meng-iya-kan pertemuan itu.
***
Fatma, adik kelasku, tiba-tiba menghubungiku.
"Kak, Kakak sedang menjalin hubungan dengan Kak Genta?"
Pertanyaan tepat sasaran, dan aku jadi senyum-senyum sendiri membacanya.
"Kamu tahu dari mana, Ma?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Ada deh. Hihihi. Kak, Kak Genta baik kok. Aku sering mendengar cerita tentang masa lalunya. Dia berusaha melakukan hal yang terbaik untuk hubungannya."
"Tapi aku mendengar kabar yang kurang baik tentang Kak Genta, Ma."
Kekhawatiranku seketika muncul. Genta memang terkenal cowok playboy di sekolah dulu. Fatma berkali-kali meyakinkan aku bahwa Genta memang benar-benar sudah berubah. Dan aku percaya. Dan akhirnya, aku dan Genta menjadi sepasang kekasih. 
***
 “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; Jika patah satu daripada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali. –Soekarno.
Siapa yang menduga jika kata-kata itu disampaikannya lewat pesan suara yang dikirimkannya ke ponselku. Bertambahlah kagum aku padanya. Aku tak mau kalah, kukirimkan pesan balasan untuknya. Pesan suara juga, tentunya.
"Kau tahu sesuatu, Bung? Aku selalu mendengarkan pesan suara darimu dipenghujung hariku. Selain itu akan membuatku merasa tersanjung, suaramu juga kujadikan lagu pengantar tidur agar aku selalu memimpikanmu."
Aku mengirimkan pesan itu padanya dengan segenap rasa dalam hatiku. Aku mengaguminya, sebagai sosok Bung Karno dalam masaku.
"Selamat malam, Nyonya Bung Karno. Kurasa kau sudah terlelap. Semoga kau mimpi indah, memimpikanku kalau bisa. Aku mencintaimu." 
Tak lama pesan suara itu masuk, pesan singkat darinya turut memasuki kotak masuk pesan ponselku.
"Apa kau sudah mendengarkan pesan suara dariku, Nyonya? Aku yakin kau semakin rajin mendengarkan suaraku setiap malamnya." 
"Kau menyebalkan, Bung. Kau terlalu pandai mengukir senyum di wajahku."
Berbunga-bunga hatiku membalas pesannya.
***
"Kak, Kakak sama Kak Genta ... ?"
Umma, adik kelasku, menanyakan hal yang sama dengan Fatma.
"Ada masalah, Ma?" Yang kudengar dari nada bicaranya, Umma sedikit heran.
"Aku baru dengar dari teman sekelasku, Zahra. Kak Genta masih sering menghubunginya."
Aku merasakan ada hal yang semakin ganjil diantara aku dan Genta. Setelah berbincang dengan Umma, aku mengaktifkan facebook-ku. What a surprise! Aku menemukan foto Genta, bersama Rahmi -adik kelasku lainnya. Foto itu baru saja diunggah. Beberapa menit yang lalu. Aku semakin merasa ganjil. 
Satu hari, dua hari, tepat tiga hari, Genta tanpa kabar. Aku semakin gundah. Uring-uringan. Kalut. Semakin kacau. Pikiranku. Hatiku. Segalanya. Setelah kupertimbangkan, pada akhirnya aku memberanikan diriku menghubungi Genta. Memutuskan hubunganku dengannya. Hubungan yang bahkan memang mulanya ragu untuk kumulai. Semuanya terbukti. Genta memang belum berubah, Genta masih belum bisa kupercaya. 
***

Aku berusaha meyakinkannya bahwa aku bisa dipercaya, tapi mau dikatakan apa lagi, nyatanya memang aku dan Nabila belum ditakdirkan bersama. Nabila belum sepenuhnya memberikan kepercayaannya kepadaku, dia masih tertaut pada kenangan masa lalunya. Aku dan Nabila, berakhir.