Postingan Populer

Jumat, 15 Mei 2015

Penerimamu

Ada hadiah yang kudapat hari ini. Sesuatu yang kuperjuangkan diam-diam, juga sedang memperjuangkan hal lain pun secara diam-diam. Aku telah kembali –pikirku. Aku sudah memulai segalanya (lagi), yang secara tidak langsung aku sedang bermain api lagi. Api yang kumainkan membakar diriku sendiri. Aku menunda segala yang datang padaku, menghalau mereka agar jarak mereka padaku masih bisa kuawasi kalau-kalau mereka terlalu lihai mengambil langkah mendekati. Tapi semua sia-sia. Sama seperti pikirmu yang menganggap apa yang kau lakukan sia-sia.
Ada rasa penasaran setiap hasrat menuntun jemari membuka pesan masuk. Tertera namamu. Selanjutnya, ada rasa tenang kau masih berkenan membalas segala pesan yang diam-diam kukirimkan –tapi kau juga diam-diam mengirimkan pesan kepada penerima lain. Kau menyembunyikan identitas penerima itu dariku agar aku tidak berusaha mencari tahu siapa dia. Tidak. Aku pun tidak berminat mencari tahunya. Rasa sesalku sudah cukup menyesakkan sebab mencari tahu penerima pesan diam-diammu sebelum penerima yang semakin intensif menerima pesan diam-diammu dewasa ini.
Ada rasa sesak yang tertancap sukar kucabut. Hati habis memaki, manusia macam apa yang menyatakan hatinya untukku tapi raganya milik orang lain? Tidak adakah manusia yang hati dan raganya menyatakan milikku? Memilihku?
Aku bercermin akanmu, waktu yang tepat yang kutunggu. Kau menantang ketegasan atas pilihanku. Kulakukan! Aku selesaikan urusanku dulu dengannya, baru akan kumulai lagi denganmu. Tapi naas… aku terlambat.
Nama penerima diam-diammu kini terpampang jelas di depan mata. Menunjukkan ada strategi yang kau lakukan diam-diam selagi kau memperjuangkanku –katamu. Kau menganggap memperjuangkanku sia-sia, tapi aku menganggap menunggumu kembali memintaku juga sia-sia. Pergerakanku mundur darinya untukmu, juga jadi sia-sia. Penolakanku pada yang mendekat pun, juga jadi sia-sia. Kesendirianku, segala usaha membangun dinding dipinggiran hatimu agar senantiasa aku yang mengisinya, juga jadi sia-sia.
Apa lagi yang bisa kukatakan selain “selamat tinggal”? Serta segala cita agar kau senantiasa bahagia?

15 Mei 2015

Selasa, 05 Mei 2015

KISAH PENGECUT

Oleh: ASA

Sediakah secangkir kopi hangat untuk kutenggak sore ini? Aku sedang ingin di dekap alam, diselimuti hangat malam. Bermesra dengan gelap, bercinta hingga kalap. Dekap aku. Angkat aku kembali. Siapa yang sangka, sehati-hatinya aku melangkah, lubang yang sama masih menganga?
Aku serasa manusia terhina, tak sanggup untuk melangkah sendiri; meninggalkan sisa jejakmu. Bahkan di sana bayangmu pun tak lagi terlihat sejak jauh-jauh hari.
Kurang hati-hati bagaimana? Aku sampai berkali-kali makan hati, tapi aku sepertinya malah jadi bahan tertawaan setulus hati. Bukan maksudku untuk terus mengukir kisah yang tak lagi kau tahu bagaimana alurnya, padahal senyatanya kau pemerannya. Namun hati, mata, juga jemariku tak dapat kuhentikan dengan paksa, karena mereka ingin tahu bagaimana akhirnya.
Pada nyatanya, aku tidak kau baca. Kau sulit kuterka. Pada nyatanya, aku tidak lagi di pelupuk mata. Kau sulit teraba; hilang.
Kisahku kini bukan lagi bagianmu, bukan lagi sekuel yang selalu kau nanti untuk kubacakan di ujung malam. Namun kisahku masih kurajut; untukmu. Penaku masih menyulam kisahnya. Tapi sepertinya kau sudah tidak tertarik menjadi pemeran utamanya. Kala kutanya peran apa yang kau inginkan, kau malah meninggalkan.
Pernah sekali aku melukismu menjadi bagian tak terbayangkan, tak ditunggu, tak ada bahkan. Namun kisahku tak hidup. Mati sama sekali. Tapi kini aku mulai meniti. Sedikit demi sedikit namamu mulai kusiasati. Saat aku sudah mantap berdiri. Siapa sangka bahwa akhirnya kau melarikan diri?
Pengecut!
Ah! Sesekali ingin kuserapahi peranmu yang tak dapat kumengerti. Bahkan ingin kulucuti adamu dalam hinggap tak berarti. Pengecut mana yang berani menyambangi hunian yang telah ia lempari? Bawa ke sini! Bukan lagi pengecut kalau ia berani serahkan diri. Tapi sampai detik kuratapi kisah ini, ia tak pernah menganggap adaku sedikit pun berarti.
Awalnya, dikata tak ingin aku pergi, karena aku adalah harap yang selamanya menjadi doa si pengecut pada Tuhan. Namun harapnya datang tak pada waktunya, “Aku belum siap menerima kabulan doaku”. Si pengecut melenggang. Hahaha. Harus seperti apa lagi kutertawakan segala usaha, cinta, dan apapun yang kukorbankan untuk mempertahankan segalanya? Tapi pengecut tak kehabisan akal begitu saja. Ia sudah menyiapkan taktik, strategi, trik –apapun kau menyebutnya, untuk menghapus jejaknya. Langkahku tak sekuat kelicikannya. Untuk berbalik saja tempurung lututku kaku seperti kurang pelumas. Jahatnya; aku dibuatnya jatuh hati lalu ditinggalkannya sampai hati. Tak pernah kutunggu si pengecut untuk mengucap maaf, karena yang kutahu tawanya terbahak bangga karena berhasil menipu wanita.
Miris rasanya. Tapi mengaispun percuma. Tokoh sentral paling egois berhasil tercipta dalam kisah kita. Tapi siapa sangka kalau di sanalah letak puncak alurnya? Geram hati terasa, pikiranku dirayapi bayangnya hingga keram-keram. Pernah kucoba tuk robek waktu yang telah lalu, namun kisah telah tercipta. Kisah si pengecut.


3 Mei 2015