Oleh: ASA
Sediakah secangkir kopi hangat untuk kutenggak sore
ini? Aku sedang ingin di dekap alam, diselimuti hangat malam. Bermesra dengan
gelap, bercinta hingga kalap. Dekap aku. Angkat aku kembali. Siapa yang sangka,
sehati-hatinya aku melangkah, lubang yang sama masih menganga?
Aku serasa manusia terhina, tak sanggup untuk melangkah sendiri;
meninggalkan sisa jejakmu. Bahkan di sana bayangmu pun tak lagi terlihat sejak
jauh-jauh hari.
Kurang hati-hati bagaimana? Aku sampai berkali-kali makan
hati, tapi aku sepertinya malah jadi bahan tertawaan setulus hati. Bukan
maksudku untuk terus mengukir kisah yang tak lagi kau tahu bagaimana alurnya, padahal
senyatanya kau pemerannya. Namun hati, mata, juga jemariku tak dapat kuhentikan
dengan paksa, karena mereka ingin tahu bagaimana akhirnya.
Pada nyatanya, aku tidak kau baca. Kau sulit kuterka. Pada
nyatanya, aku tidak lagi di pelupuk mata. Kau sulit teraba; hilang.
Kisahku kini bukan lagi bagianmu, bukan lagi sekuel
yang selalu kau nanti untuk kubacakan di ujung malam. Namun kisahku masih
kurajut; untukmu. Penaku masih menyulam kisahnya. Tapi sepertinya kau sudah
tidak tertarik menjadi pemeran utamanya. Kala kutanya peran apa yang kau
inginkan, kau malah meninggalkan.
Pernah sekali aku melukismu menjadi bagian tak
terbayangkan, tak ditunggu, tak ada bahkan. Namun kisahku tak hidup. Mati sama
sekali. Tapi kini aku mulai meniti. Sedikit demi sedikit namamu mulai
kusiasati. Saat aku sudah mantap berdiri. Siapa sangka bahwa akhirnya kau
melarikan diri?
Pengecut!
Ah! Sesekali ingin kuserapahi peranmu yang tak dapat
kumengerti. Bahkan ingin kulucuti adamu dalam hinggap tak berarti. Pengecut
mana yang berani menyambangi hunian yang telah ia lempari? Bawa ke sini! Bukan
lagi pengecut kalau ia berani serahkan diri. Tapi sampai detik kuratapi kisah
ini, ia tak pernah menganggap adaku sedikit pun berarti.
Awalnya, dikata tak ingin aku pergi, karena aku adalah
harap yang selamanya menjadi doa si pengecut pada Tuhan. Namun harapnya datang
tak pada waktunya, “Aku belum siap menerima kabulan doaku”. Si pengecut
melenggang. Hahaha. Harus seperti apa lagi kutertawakan segala usaha, cinta,
dan apapun yang kukorbankan untuk mempertahankan segalanya? Tapi pengecut tak
kehabisan akal begitu saja. Ia sudah menyiapkan taktik, strategi, trik –apapun
kau menyebutnya, untuk menghapus jejaknya. Langkahku tak sekuat kelicikannya.
Untuk berbalik saja tempurung lututku kaku seperti kurang pelumas. Jahatnya;
aku dibuatnya jatuh hati lalu ditinggalkannya sampai hati. Tak pernah kutunggu si
pengecut untuk mengucap maaf, karena yang kutahu tawanya terbahak bangga karena
berhasil menipu wanita.
Miris rasanya. Tapi mengaispun percuma. Tokoh sentral
paling egois berhasil tercipta dalam kisah kita. Tapi siapa sangka kalau di
sanalah letak puncak alurnya? Geram hati terasa, pikiranku dirayapi bayangnya
hingga keram-keram. Pernah kucoba tuk robek waktu yang telah lalu, namun kisah
telah tercipta. Kisah si pengecut.
3
Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar