Postingan Populer

Rabu, 28 Januari 2015

Selamat Pagi

Siapa yang menyangka, di pagi hujan, dingin, sendirian, datang seseorang yang kau sayangi dengan tangan ajaibnya yang membuatkan menu sarapan kesukaanmu masih hangat sehabis dingin hujan? Bisa kau bayangan betapa indahnya pagimu kalau itu terjadi?

Pagi itu terjadi padaku. Hujan, dan kupikir semua akan membosankan. Berlindung di bawah selimut sudah jadi rutinitasku saat hujan semenjak dokter memvonis tubuhku antipati terhadap dingin, dan kalau sampai suhu kamar sangat dingin (bagiku), bisa jadi anak ingusan sepanjang hari. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Bisa aneh seharian bersanding dengan kotak tissue di mana pun kuberada. Dan yang paling parah adalah bolak-balik ke toilet saat tissue-tissue itu sudah tak mampu lagi membantuku dari musibah yang terjadi —skip. Pembatalan pertemuan sudah hampir menemui kata sepakat ketika akhirnya aku menemukan surya menyembul dari balik awan sambil menampakan senyum hangatnya. Dan, finally... meet up with him! Yeay\(^o^)/

Kusambar handuk dengan segera, bergegas menuju kamar mandi. Memilih pakaian yang 'paling layak' kukenakan —kegiatan satu ini memakan waktu yang cukup lama, maklum wanita. Dan menunda sarapan! Mengapa? Sebab ada yang berjanji akan membuatkan aku sarapan, ting!

Ketukan pintu terdengar, mengagetkan, dan berhasil membuat jantungku hampir berlonjak kegirangan. Senyum hangat yang sudah lama tak kulihat, aroma tubuh yang sudah lama tak kucium, dan... look! Dia membawa sekotak bahan dasar yang akan disulap oleh tangan ajaibnya untuk aku sarapan. What a wonderful morning! Pekerjaan wanita yang paling sulit kupelajari —memasak. Tapi tidak mematahkan semangatku untuk jadi koki andalan dalam keluarga kecilku nanti. Ini akan jadi pemandangan paling indah sepanjang hari. Biasanya, aku yang harus sibuk menyiapkan bahan masakan, berpanas-panas ria di dekat wajan dan kompor, siaga mengawasi tingkat kematangan apa yang sedang kumasak, dan memikirkan bagaimana menghidangkannya. Tapi pagi ini berbeda, aku cukup berdiri santai memandangi punggung pria yang kusayang, sibuk dengan rentetan bumbu dapur, minyak panas, dan permainan rasa, demi menciptakan sarapan pagi paling istimewa di dunia. Menu sarapan yang paling kusuka. Meskipun hanya sepiring nasi goreng —yang menurutku terlalu banyak, dan akhirnya dihabiskan berdua, sudah cukup menjadikanku gadis paling istimewa pagi itu.

Sekadar membayangkan pagi itu terjadi saja, tak pernah. Membayangkan pria yang kusayang membuatkan sarapan pagi untukku saja belum pernah. Memandangi wajahnya sampai surya menginjak titik zenit tanpa sedikit pun berpaling saja, itu sudah terlalu mewah. Tapi semua itu terjadi, hari ini. Ditambah dekapan hangat penumpah rindu yang selama ini menggarang minta dituang. Semua tercurah sudah.

Bahagia itu, sederhana. Sesederhana cintanya yang membuatmu (selalu) merasa istimewa. ^^
...
Bekasi, 27 Januari 2015

Minggu, 25 Januari 2015

Catatan Seseorang; Lita

Aku seperti wanita paling baik di dunia. Mengapa? Kisahku hanya tentang seberapa rela aku berbagi pria. Masalahnya sama, hanya setiap pria yang bersamaku, pasti memiliki wanita lain yang membayanginya. Mengapa 'setiap pria'? Iya, karena aku belum menemukan alasan yang lebih maskulin ketika mereka memutuskan untuk berpisah denganku. Selalu ada ekor setelah kuselidiki dengan berbagai adegan macam detektif.

Apa pria-pria yang sudah kutemui berperilaku baik? Sangat. Dengan begitu, mereka menutupi bulu kasar mereka untuk mengelabui aku dalam perburuannya. Apa mereka berhasil? Sukses betul rasanya. Mereka sangat berhasil membuatku merintih-rintih perih lantaran luka cakaran yang mereka sayatkan tepat pada tempat bersarangnya perasaan untuk mereka. Tidakkah setiap pria yang pernah kutemui menjanjikan kesetiaan? Uh! Janji ya janji, kenyataan ya kenyataan. Janji tanpa realisasi? Sudah hatam kuseruput habis sampai ampas yang tertinggal dalam cangkir; pahit.

Tidakkah mereka merasa bersalah? Dari yang paling murah mengumbar maaf, sampai yang paling mahal mengucap maaf —alergi mungkin, sudah kuhatamkan teori tanda-tanda mereka akan mengulangi hal yang sama. Mungkin kalau aku ikut ujian, aku sudah mendapat nilai sempurna. Tidakkah sedikit pun mereka menyesal? Tanyakan saja! Rasanya sudah mual memakan kata sesal yang cita rasanya tak pernah pas pada perilaku setelahnya.

Kapan aku berhenti dengan mereka? Aku sudah menghentikan permainanku dengan mereka sejak mereka sampai pada petak 'parkir bebas'. Aku selalu sampai 'start' lebih dulu. Sekali pun dengan gertakanku akan mencari yang baru, mereka belum juga hengkang dari petak itu, malah semakin nyaman betul rasanya melihat mereka di sana. Tidakkah aku mendambakan kesetiaan seperti kesetiaan yang pernah kuperjuangan pada pria-pria yang pernah kutemui? Sangat. Setidaknya saat aku memberikan sikap terbaikku, dia bisa membalas sebaik yang aku berikan.

Apa sekarang aku sedang dekat dengan seseorang? Iya, ada. Benteng yang tebal sudah kubangun. Kalau-kalau dia menghancurkanku lagi, paling tidak aku masih punya tempat berlindung. Apa dia bersih dari wanita yang mengekor? Hahaha, mungkin dia sempat memangkas ekornya sebelum dia menemuiku agar jejaknya tak terbaca. Begitu buruk prasangkaku terhadapnya. Mengapa? Tidak, tidak. Hanya berhipotesis karena terlalu sering aku menemukan spesies sejenisnya. Apa aku mengharapkan semoganya hanya aku? Sebenarnya, itu keinginan terbesarku. Semoga saja.

Masihkah aku mau jadi wanita yang paling baik di dunia? Jika syaratnya dengan berbagi pria, aku takkan pernah bersedia.

Sebenarnya aku siapa? Lita.

Bekasi, 26 Januari 2015

Sabtu, 24 Januari 2015

Surat Cinta; Sketsa

Sebuah amplop berwarna putih. Surat cinta dari seorang laki-laki. Aku hafal betul aroma tubuhnya. Hafal betul tatapannya, hafal betul kerlingan matanya, hafal betul genggaman tangannya. Aku hafal betul perasaannya. Tepat hari ini, di bawah surya yang menggarang, laki-laki itu sedikit berlari; menghampiriku. Aku hafal betul seperti apa perasaannya saat berlari, seperti ingin meraih angan yang selama ini sudah terbayang. "Terima kasih," nada paling antusias yang bisa kukeluarkan sembari tangan kananku menerima uluran surat cinta dari laki-laki itu.
Peluhnya bercucuran, tenaganya terkuras habis seharian. Aku ingin kembali jadi tumpuan, saat lelah sedang menggerogoti tubuhnya perlahan. Aku ingin kembali jadi penyemangat yang paling semangat, aku ingin kembali jadi pendukungnya yang paling antusias, yang mempertahankan senyum kebahagiaan pada wajahnya dengan tubuh yang sudah berjuang terlalu jauh.
Sampai tiba di hunian, kubuka amplop pemberiannya tadi. Laki-laki itu terlalu tulus menggurat pensil terlalu mulus di atas kertas yang awalnya terlalu lurus. Aku hampir lepas kendali, berloncatan ke sana ke mari. Harus kutempel sketsanya di dinding sebelah mana lagi? Namun, tujuan laki-laki itu tidak pada titik dinding tempat sketsa itu kelak menyarang. Tapi pada yang terletak di hunian; cinta.
...

Bekasi, 24 Januari 2015

Aduan

Mah, aku seperti dibuang.
Padahal surya sedang garang.
Hujan terlalu baik karena tidak datang.
Membiarkan semua tetap riang.

Mah, tapi aku kedinginan.
Sekedar senyum tak berkenan.
Apalagi sapa kepada hunian.
Rasanya berat untuk didambakan.

Mah, aku seperti diabaikan.
Ke mana jemari yang mengisi genggaman?
Ke mana, Mah?
Ke mana?

Dalam titik yang paling bisu.
Aku tak menepis tatapan yang beradu.
Tapi aku ingin meraihmu.
Tepat di titik itu: rindu.

Dalam titik yang paling bisu.
Aku mempertanyakan kita yang (tidak) menyatu.
Apakah semogamu (masih) aku?

Rabu, 21 Januari 2015

Presipitasi Berwujud Cairan

Oleh: Arini Hidayah

"Aku menyukai presipitasi berwujud cairan,
seperti biasan cahaya yang datang setelahnya."

Deras. Tubuh melemas.
Tak bisa segera pulang. Dihadang.
Basah. Seluruhnya tanpa celah.
Sendirian berteduh. Rapuh.

Bedua. Berteduh disisi jendela.
Kaku malu-malu. Tersipu.
Banjir. Tergoda bermain air.
Gelak tawa menggema. Canda.

Berlalu. Aku masih bersamamu.
Tepat di akhir hari. Menemani.
Pulang. Kau antar aku sampai gerbang.
Tiba meski semua kuyup basah. Rumah.

Esok. Tidak lagi berniat belok.
Tertuju satu tujuan. Ke depan.
Bersama. Melangkah menikmati cinta.
Di bawah derasnya bergandengan. Hujan.

"Aku membenci presipitasi berwujud cairan,
seperti terik yang tak pernah datang bersamanya."

Pisah. Bersama sudah gerah.
Tak mampu lawan rintang. Perang.
Hujan. Sudah tak mampu lagi ungkapkan.
Pasrah pada takdir. Berakhir.

Kecewa. Kudengar hujan baru temukan pelanginya.
Sedang hatiku berangsur mengeras. Panas.
Beku. Sedang tatap dan laku jadi kaku.
Berhenti berperang. Pulang.

Mesra. Hujan selalu diiringi pelanginya.
Sebab setia sudah tak lagi ada. Dusta.
Makna. Cinta tak lagi membara.
Berujung pada muara laut. Kalut.

Indah. Tentang hujan memang tak pernah berubah.
Tapi bagai panas gelisah. Pisah.
Bersamamu. Bagai hujan dengan panas yang tak padu.
Katamu cinta masih tersisa. Percaya.

Bekasi, 21 Januari 2015

Jumat, 16 Januari 2015

Semogaku

Dimohonkan oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Sekali ini kuucapkan cinta padamu; semogaku. Namun, takut sendirinya menyarang, masihkah kau selembut dulu? Seperti ketika tatap belum berani mengharap?
Semogaku; di setiap tatap menyelinap harap yang lama mengendap dan tak pernah sepatahpun terucap. Saat senyap aku berharap kau ada, berhadap dan mendekap.

Pada senja, kau terbayang di pelupuk mata. Dalam buai, harapku melabuhkan rindu padamu semogaku yang senantiasa diaminkan malaikat malam yang bercengkrama.
Kepada semogaku; merasakan jatuh yang tak sakit pada tatap pertama peraduan mata, sejak itu kau hadir, membuktikan kuasa Tuhan menghadirkanmu sebagai takdir.

Aku diam didekap malam, pada rindu yang baru saja tersampaikan sebab kau pulungi celotehku begitu tenang. Sejurus ada yang diam-diam jatuh. Jatuh cinta.
Kehanyaan padamu dihaturkan rasa yang begitu agung, sampai pada satu titik, tak lagi kutemukan belahan dari rasa itu. Tetap padamu, kehanyaan satu.

Sekali ini kuberanikan menangkap bola mata yang teduh mengusik sukma. Segaris senyum simpul yang selaras dengan rona wajah sendu. Aku, jatuh cinta.
Teruntuk yang selalu kusemogakan dalam doa; biarlah kuselalu jadi pengagum rahasia.


30 Desember 2014

Emosi Kopi


Diracik oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Ferrara Ferronica, Luthfiatul Fuadah, dan Sukmawati

Secangkir kopi yang tak sengaja kutenggak ternyata bukan sekedar kopi. Rasanya tak hanya pahit, namun masam tertinggal di kerongkongan. Kopi rasa kemarin.
Kopi kemarin terasa manis karena ditenggak secangkir berdua dengan bibirmu. Namun rasanya cepat berubah secepat hilangnya pedulimu. Masam kini hilang kamu.
Ya, masam! Tak ada aroma menyeruak hangat. Sebab yang tersaji hanya secangkir kopi rasa kemarin. Tanpa gula, dan tanpa kamu sebagai pelengkap malam.
Asam di lambungku kini mulai naik. Ingin kumuntahkan kopi masam di tengah kejahanaman malam. Lalu kurauk muntahku dan kupoleskan padamu yang hanya diam.

Apa kau tak ingat cangkir terakhir yang kubuatkan? Takkan masam jika tak kau biarkan, tak kau abaikan.
Butiran serbuk kopi ketika diseduh, memberikan aroma yang khas dan aku ingin seperti butiran robusta. Apakah kau mengetahuinya?
Juga kafein yang menggoda pada malam, memaksa tak boleh terpejam. Sebab masih tersisa setengah cangkir kopi yang harus kau tenggak tapi tak ingin kau buang.
Kopi memang pahit, tapi bergitu nikmat jika diberi gula dan tentunya akan digemari. Begitupun kau selalu kugemari walau kutahu dalam kenyataan terasa (pahit).

Aroma kopi menyeruak ditengah gaduh dalam ruang menyelinap rongga hidung sampai tertengguk kerongkong, hangat dalam badan. Ya, secangkir kopi pada malam jahanam.
Malam itu kita berdua dengan secangkir kopi, pelukmu semakin erat tatkala malam semakin penat. Bibirmu menyentuh mulut cangkir dengan lembut, padahal hati menciut.
Sejujurnya aku khawatir, lakumu yang setiap saat mengambang di pelupuk mata esok hilang tanpa bilang.
Kopinya sengaja tak sehari habis, siapa tahu masih sama manis karena bibirmu yang aduhai manis. Tapi sungguh tragis, manisnya jadi masam seiring kau berubah jadi yang maha kejam.

Kendati kini cangkir itu tak lagi milik berdua. Kau pergi menyisakan sidik bibirmu di pinggir mulut cangkirnya. Bukan main masamnya, aku jadi hilang selera.
Bila boleh pengandaianku, kuandaikan senyatanya inginku berhentikan waktu saat di mana aku menggigil, lalu kau peluk ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan.
Dan kendati cangkirku tak lagi dipenuhi kopi racikanmu, kuandaikan malam itu bahumu sejajar membersamaiku. Kubayangkan wajahmu dalam cangkir kopiku.
Kopi kemarin yang aku sajikan sudah pasti masam rasanya. Tak enak. Sudah cukup kau berandai, tak baik pengandaianmu. Hanya tergadai!

Aku ingin secangkir kopi terakhir malam itu. Ya, kopi robusta yang kau racik nikmat tiada tandingan. Oh sungguh, bualan kopi terus saja memanjakanku pada malam.
Secangkir kopi perempuan jahanam pada malam jahanam untuk laki-laki jahanam tuntas kuseruput habis.


30 Desember 2014

Selamat Makan Malam

Oleh: Arini Hidayah dan Cahya Ali Nur Ikhsan

Cahaya nyala api yang benderang saat gelap…

Kita bertemu
Pada lilin kelima
Di rumah makan keempat
Yang ada di tikungan kedua belas

Penuh canda tawa, lilin pencipta cinta…

Aku kenakan kemeja putih,
Celana abu-abu gelap, dan seuntai dasi
Lengkap dengan pengharum tubuh
Yang pasti sudah hatam aromanya kau ciumi

Waktu, berhentilah sejenak…

Kau kenakan gaun putih menjuntai
Lengkap dengan hiasan rambut berwarna senada
Aroma tubuhmu pun sudah begitu akrab kuciumi
Wajah berseri bercahaya

Harus dengan apa lagi kugambarkan ciptaan-Mu, Tuhan?

Kita duduk berhadapan
Kau lekat dalam pandangan
Tersipu sesaat setelah kita beradu tatapan
Malu begitu wajahmu bahasakan

Lilin di meja pun ikut terheran-heran…

Parasmu yang begitu menawan
Senyum malu yang membuatku enggan bosan
Ditambah pantulan cahaya lilin ruangan
Kau jadi begitu indah ditatapan

Abadikan, Tuhan. Kumohon, abadikan…

Perlahan jemari kita menyatu
Cahaya lilin begitu membantu
Penciptaan siluet genggaman kita pada dinding itu
Aku jatuh, jatuh cinta amat terlalu

Hanya kepadamu; dengan atau tanpa bersahabatnya ruang dan waktu.

Selamat makan malam.


Bekasi, 16 Januari 2015

Kamis, 01 Januari 2015

Sampah

Oleh: Anisa Rahayu dan Khusnul Chotimah

Pasrahku tak lagi berarah
Terjebak cinta yang kini berubah amarah
Hadirku tak lagi buatmu kembali ajegkan kerah
Karena aku kini hanya sampah
Di bawah alas kakimu yang gagah

Di balik liur rusuh yang berbau busuk
Tatapku tetap melabuh padamu yang kurindu
Biar kau anggap aku sampah yang merapah
Namun raga tak sedikit pun menjauh


Ciputat, 21 Desember 2014

Tahi

Oleh: Arini Hidayah dan Luthfiatul Fuadah

Kerontang raga memikul pilu
Pada suatu pesta malam biru
Aroma rindu tak seharum dulu
Malah tahi kuciumi rindu
Luluh, lantah, aku termangu

Tahi!
Kau bilang, kau rindu
Sedikit pun tubuhmu tak berlagu
Sekali lagi kau bilang rindu tanpa laku
Kau melucu!


Ciputat, 21 Desember 2014

Rinai

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Rinai membersamai penantian sedari tadi
Membuatku berpikir,
Masih perlukah aku menanti?
Kebersamaan kita desas-desus berganti
Bukan dia yang berupa
Namun perjalanan pemilik hati; kamu

Masih ingatkah pada waktu yang sedari dulu berlabuh?
Mengusap tanya pada rindu yang kian menjamu
Terlungkup malu aku mengaku
Hanya pada temaram aku mampu mengadu
Mengaku mau untuk kita lagi berpadu,
Bersamamu


Ciputat, 21 Desember 2014

Ranting

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Dedaunan bergelayut di ranting kayu
Basah dihujani rinai malam kelabu
Kepadamu kehanyaan aku melabuhkan rindu
Seperti ranting bertahan pada pohon yang satu

Karena kamu, sendiriku usah tuk berlaku
Biarkanlah rasaku menari diataskan rindu, padamu

Kepada akar denyutku meniti harap yang tak semu
Menaruh rindu padamu yang tak kunjung sendu
Sampai kapan resah menggelut hati yang lusuh?
Sedari dulu kutitih harap padamu yang menjamu


Ciputat, 21 Desember 2014

Lumpur

Oleh: Khusnul Chotimah dan Luthfiatul Fuadah

Tak jua resap tanah beradu satu menjadi batu
Namun kulihat lumput mengalir deras tanpa sehelai pun tertelan malu
Andai liat dapat saling beradu
Kupastikan kau menjadi saksi atas tunggu yang membisu

Kujejaki lumpur bau dengan saru
Dalam risau hati yang tak punya malu, menuntut arti sebuah rindu
Kurasa harga diri sudah tak perlu,
Saat raga kau regas begitu nafsu

Ciputat, 21 Desember 2014


Gemuruh

Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Jiwaku lusuh menatap matamu yang angkuh
Dikoyak sakit yang tak jua berlabuh,
Rasaku bergulat sakit; bergemuruh

Helaian angin serontak hadir
Menarik napas hingga sesak tak kuasa berlabuh

Pada dekap malam, aku berlagu
Menimang rasa yang kutahu pilu
Entah kapan tenggat waktuku berujar rindu
Dalam pertapaanku, sampai datang waktu
Kuharap kau tak lagi semu


Ciputat, 21 Desember 2014

Debu

Oleh: Anisa Rahayu dan Arini Hidayah

Katamu…
Kau bagai debu
Tak bernada
Tak berlagu

Katamu…
Kau bagai aku
Tegak,
Nyata, tak semu

Kepada cermin di dinding batu
Meski hanya bayangmu
Tak kulihat kita bersatu padu

Katamu…
Kau bagai debu
Hadir meski tak pernah dirasa perlu

Katamu…
Kau bagai aku
Yang senantiasa memupuk rindu

Rasa rindu berkemul dalam-dalam padamu
Padahal sendiriku ragu

Aku tetap memandang cermin di hadapan
Yang menyimpan guratan
Tegak, nyata, tak semu;
Bayang wajahmu


Ciputat, 21 Desember 2014

Catatan


Oleh: Anisa Rahayu, Arini Hidayah, Khusnul Chotimah, dan Luthfiatul Fuadah

Saat ujaran tak kuasa berucap
Kusantap helai kertas di atas atap

Kutumpahi tinta dalam derai
Lirih angin berbisik untuk menyudahi

Segera sampaikan pada sebuah titik

Perlu apa lagi kujabarkan bait ini?
Sedang catatan sudah menitik sejak jauh-jauh hari

Goresan pena membentuk diksi tentang cinta,
Tentang hujan, tentang kamu
Namun aksaranya mengambang
Tak sampai pada si empunya cinta

Kamu catatanku. Puisiku.


Ciputat, 21 Desember 2014

Rintang Ranting Kerontang

Oleh: Arini Hidayah

Dia pernah tumbuh hijau
Hijau itu pernah memayungimu
Memayungi dari sengatan surya
Surya yang menggarang di tengah siang

Siang itu aku kembali kepadamu
Kepada teduh hijaumu
Hijaumu kini telah hilang
Hilang teramat sayang

Sayang kini kau kerontang
Kerontangmu tak mampu teduhkan
Teduhkan mereka yang tersengat
Tersengat perih yang teramat


Bekasi, 25 Desember 2014