Postingan Populer

Minggu, 05 Juli 2015

Pergi

Ada yang sedang tidak ingin saya tulis. Saya sudah hatam semua kosakata yang membahasakannya, tapi tidak ada yang mampu mewakili percikan rasa yang muncul untuknya. Sudah lama betul rasanya sejak sepeninggalnya, saya tidak lagi melukisnya lewat kata-kata. Akibatnya kalau saya berani melukisnya lagi, dia akan muncul dalam bayang-bayang mengelilingi bola kepala saya berputar-putar dan nanti akhirnya saya hanya akan dibuatnya pusing lantaran terus memikirkannya. Dia sudah tenang di sana, menari dengan para bidadari khayangan memandangi senyuman bidadari itu sambil memegang kedua tangannya menggandengnya berjalan-jalan berdua di taman surga. Sayangnya, dia pergi membawa separuh hati saya. Di tahannya hati saya dalam penjara yang dia buat sendiri yang saya tidak mampu menembusnya hanya untuk mengambil separuh hati saya yang tertinggal di sana.

Hari itu, saya menangis sejadi-jadinya membayangkan tidak ada lagi dia sebagai sandaran saya, penuntun saya, pemandangan mata saya, satu-satunya suara yang saya dengar, dan ladang hatinya di mana saya bisa bebas berlarian ke sana-sini tanpa pernah merasa lelah. Dia membeku di balik helai kain yang menutupi leher hingga kakinya secara sempurna, sedikit kain tembus pandang yang menutupi puncak kepalanya sampai dada. Dia pergi menyisakan kenangan yang nyatanya sampai lima tahun kepergiannya belum bisa saya lupakan sedetik pun. Saya masih ingat satu hari sebelum dia pergi, dia masih menggenggam tangan saya dan melarang saya pergi dari sisinya saat tubuhnya sudah mulai lemas. Satu minggu sebelum dia pergi, dia masih meminta saya membuatkan semangkuk bubur untuk sarapannya saat tenggorokannya sudah alergi terhadap makanan yang teksturnya kasar. Satu bulan sebelum dia pergi, dia masih suka mengajak saya berjalan-jalan, mengitari gedung yang aromanya seperti kamar bedah. Satu tahun sebelum dia pergi, dia masih mengajak saya makan di rumah makan kesukaannya dan membawakan saya setangkai mawar merah. Satu windu sebelum dia pergi, dia mencoret-coret seragam putih abu-abu saya dengan belasan tanda tangannya yang ukurannya bervariasi. Satu dasawarsa sebelum dia pergi, dia menggambar sketsa rumah yang cukup asri dan dia bilang, "Nanti kalau kita menikah, aku akan mendesain rumah kita agar seasri ini, supaya kamu bisa berkebun di sekelilingnya sambil melihat anak-anak kita berlarian dengan riangnya, dan aku akan mengabadikan semua kejadian itu dalam lensa kamera." Dengan yakin saya aamiin-kan angan-angannya agar kelak menjadi nyata.

Lantaran hari di mana saya akan menjadi nyonya atas namanya sudah ditentukan, dia mulai kehilangan kesehatannya. Rasanya saya ingin mempercepat apa yang bisa saya lakukan di waktunya yang sempit untuk mewujudkan semua angan-angannya. Tapi nihil, semua terencana bahkan di saat dia belum berhasil memenangkan pertarungan melawan musuh orang sehat. Saya menyayangkan dua hal, khayalannya yang belum dapat saya bantu wujudkan dan perasaan saya padanya yang tulus dan belum berkurang sejak saya kenal dia bahkan sampai saat dia pergi malah mengalami pertambahan.
...

Subuh, 6 Juli 2015

1 komentar: